Minggu, 02 Desember 2018

Reuni 212 Bikin Bangga

Mengikuti secara langsung acara Reuni 212 membuatku makin menguatkan bagaimana indahnya ikatan ukhuwah Islamiyah di antara saudara sesama muslim. Di dalam kereta hampir semuanya adalah orang-orang berbaju putih yang akan datang ke Monas. Waktu naik dari Pondok Cina gerbong sudah terisi penuh dan terus bertambah di Stasiun-stasiun berikutnya. Saat mau turun di Gondangdia ternyata tidak bisa karena Peron sudah penuh sesak oleh tumpukan penumpang sebelumnya. Jadilah kami turun di Juanda.

Sambil menapaki tangga turun penumpang spontan melantunkan Sholawat sehingga terdengar membahana di telinga membuat hati ini bergetar dan mata berkaca-kaca karena rasa haru yang menyeruak di dada.

Di lantai bawah ku cari pojokan sepi untuk duduk lesehan membuka bekal roti buat sarapan. Di samping kami ada keluarga yang juga tengah menikmati makanannya. Si ibu menawarkan nasi bakar begitu juga sebaliknya.  Jadilah kami bertukar bekal.

Menuju kawasan Monas jalanan terlihat sangat padat. Sudah ku duga kami pasti kesulitan mendekat ke dalam. Pagar masuk Monas terlihat ditutup sehingga diputuskan untuk mendengarkan ceramah di luar pagar. Mau bergerak ke arah pintu masuk lainnyapun kondisinya sama, susah bergerak. Dan banyak yang mengatakan acara kali ini pesertanya lebih  banyak dibandingkan dengan yang sebelumnya. Meskipun demikian antar peserta pada saling mengingatkan saat ada yang nekad berjalan menerabas taman. " Hoeey jangan injak tanaman, ga boleh..! Nanti kita semua yang kena fitnahnya..!

Ternyata ada untungnya juga karena di situ banyak Pedagang kecil yang ramai oleh pembeli yang sedang sarapan. Jadilah kami ngetem sambil makan Sate Padang biar makin kuat dalam menghadapi kenyataan. Hihihi.. Yang tidak enaknya adalah srampat sendal anakku putus sehingga dia akhirnya nyeker dan baru beralas kaki lagi setelah ketemu minimarket di dekat Stasiun saat menuju arah pulang.

Bagaimanapun juga aku bangga menjadi bagian dari mereka yang menciptakan sejarah acara Ukhuwah yang berlangsung damai meskipun dihadiri oleh jutaan orang.

#Reuni212
#UkhuwahIslamiyah

Di dalam kereta

Suasana di Peron Stasiun Gondangdia

Anak lanang

Antrian mau masuk ke Monas

Pedagang kecil laris manis

Pemandangan dari dalam kereta

Jl Kebon Sirih

Jumat, 05 Oktober 2018

Apa Yang Harus Dilakukan Jika Kena Random Check?


Baru saja mangap mau ngemplok sisa Kebab yang siangnya dibeli di Shibuya, mendadak didatangi dua orang berseragam celana biru dongker dan atasan putih bergaris biru. Salah satunya sambil mengucapkan salam menunjukkan lencana polisi kaya di film Chips itu. Mak deg. Wah random check nih. Sering baca di group Backpacker banyak yang terkena check dan akhirnya dideportasi karena beberapa alasan. Perlahan ku kuasai diri buat apa takut kalau aku ga melakukan kesalahan?

Satu petugas dengan ramah ngajak ngobrol nanyain ngapain aku ke Jepang, kemana saja, hal menarik apa yang ditemui di sini, susah ga cari makanan halal, dll. Sementara petugas satunya lagi meminta ijin meminjam pasporku dan kemudian mencatat data yang ada di dalamnya. Sambil menunggu petugas ini mencatat, yang satunya lagi kemudian cerita kalau dia tahun lalu pernah ke Jakarta dan mengunjungi sebuah masjid yang sangat besar yang letaknya di depan gereja Katedral. Oooo.. itu namanya masjid Istiqlal mas. Trus dia nanya, kenapa tertarik ke Jepang? Ya aku jawab aja karena dulu terinspirasi sama film Oshin dan melihat kayanya Jepang asyik banget.

Di akhir obrolan (sebenarnya interview kali ya) dia memberikan buku Tokyo Muslim Travelers Guide buatku dan sambil senyum manis dia mengucapkan salam. Lha udah mau pulang kok baru dikasih buku panduan. Semoga ini adalah doa dan harapan kalau aku akan kembali lagi ke sini. Emang iya sih, masih banyak tempat  yang belum ku datangi. Ok mas, makasih ya.. Orang-orang Jepang pada baik-baik kok seperti masnya.

Pas lagi baca buku panduan tiba-tiba datanglah seorang pria imut menghampiriku dan kemudian menanyakan apakah aku bersedia untuk mengisi kuisioner. Ternyata masnya adalah petugas dari Departemen Pariwisata yang sedang melakukan survey untuk meningkatkan layanannya bagi wisatawan. Aduh, jadi berasa kaya artis deh banyak yang memintaku interview. Apa karena wajahku ini  semurvey ya?

Habis ngisi kuisioner gantian masnya aku kerjain tak ajak selfi. Habisnya tadi mau ngajak selfi mas Polisi ga berani sih. Pas aku pasang tongsis dia bilang gini, tapi wajahku ga fotogenik lho. Ah, masnya merendah deh. Ceklik..!

Jadi pointnya adalah saat kita kena random check agar tetap tenang, kendalikan diri jangan gugup dan grogi, jawab semua pertanyaan dengan jujur dan siapkan semua dokumen yang diperlukan. Gampang kan?

#Japan
#RandomCheck
#JapanSoloTravel

Ke Jepang Dengan Modal 6 Jutaan? Bisa..!


Berawal dari promo free seat dari maskapai merah yang sering menawarkan tiket murah ke berbagai negara. Tahun ini sebenarnya inginnya ke Vietnam dan Kamboja, tapi setelah dicari-cari kok harganya masih mahal. Akhirnya putar haluan cari yang ke Jepang yang memang sudah sejak lama jadi impian untuk dikunjungi.

Taraaa...! Dapatlah tiket Jakarta - KL - Haneda untuk awal Agustus 2018 dengan harga Rp 3 juta. Waktu itu yang langsung ke Narita belum dibuka. Tapi ada untungnya juga karena akhirnya malah bisa sekalian mampir ke Melaka karena ada pilihan yang bisa transit 16 jam dari pagi hingga jelang tengah malam. Sebagai warga backpacker yang baik dan benar kesempatan ini jelas sayang jika dilewatkan. Ya ga.. ya ga..?

Ternyata bulan Agustus adalah musim panas yang kalau siang suhunya bisa mencapai hampir 40 °C. Jadilah googling tempat wisata yang berada di pegunungan dan lokasinya tak begitu jauh dari Tokyo. Maklum cuma punya waktu 6D5N di Jepang jadi tak bisa ke tempat yang jauh-jauh.

Setelah membandingkan sana sini, akhirnya ditetapkan Nikko dan Kawaguchiko sebagai tujuan utama. Eh dapat info dari teman kalau di musim panas ada Festival Kembang Api alias Hanabi dan sekalian sudah ada jadualnya akan diadakan di mana saja dan waktunya juga sudah tercantum di situ. Ndilalahnya salah satu lokasinya adalah di Danau Kawaguchiko. Pucuk dicinta ulam tiba. Dan tanpa disangka saat di Nikko pun ada Warake, Festival Menari. Asyik kan? Jadi janganlah ragu untuk mengunjungi Jepang saat musim panas ya?

Untuk mengunjungi Nikko, Kawaguchiko dan Tokyo selama 6 hari dana yang harus dikeluarkan untuk penginapan, makan, transportasi lokal dan masuk ke obyek wisata cukup sebesar 25 ribuan Yen saja atau Rp 3,3juta. Makan bisa murah cukup jajan beberapa kali saja karena bawa bekal oat, roti bakar, telur rebus, 3 bungkus mie instant, abon, kering tempe kacang dan kurma. Maklum cari makanan halal kan ga semudah cari warteg di Jakarta? Jadi biar hemat waktu seringnya masak saja di penginapan dan jajannya cukup sesekali aja. Untuk itu pastikan cari penginapan yang ada dapurnya minimal ada microwavenya. Oiya malam pertama tidurnya di Bandara karena sampai Haneda sudah tengah malam. Tadinya mau nginap di rumah teman tapi karena beberapa pertimbangan akhirnya batal demi hukum.

Jadi menurut teman-teman dengan total biaya Rp 6,3 juta dengan rincian tiket pesawat 3juta (sudah sekalian mampir ke Melaka), akomodasi & transportasi selama di Jepang 3,3juta apakah termasuk murah atau mahal?

#Japan
#JapanItinerary
#JapanSoloTravel



Kawaguchiko, Danau Cantik Dengan View Gunung Fuji


Jika Pegunungan Nikko belum begitu banyak dikenal oleh wisatawan Indonesia, maka Kawaguchiko yang juga terletak di kaki Gunung Fuji seringnya telah menjadi destinasi wajib meskipun biasanya cuma seharian tanpa menginap. Karena aku memang sudah niat mau dua hari di sini, dari jauh hari sudah booking transportasi PP dari Shibuya dan tentunya juga termasuk penginapannya. Selain dari Shibuya, Highway bus juga ada yang berangkat dari Shinjuku dengan jadual tertentu yang bisa dilihat dan dipesan tiketnya di websitenya. Pembayaran dilakukan dengan kartu kredit.

Perjalanan bus sebagian besar melalui tol dengan waktu tempuh antara 2,5 sd 3 jam tergantung lancarnya arus lalu lintas. Kanan kiri jalan banyak terlihat tanaman padi yang terhampar hijau menyejukkan pandangan mata. Sesampainya di terminal yang juga menyatu dengan Kawaguchiko Station lebih baik langsung beli Retro Pass di loket Sightseeing bus seharga 1500 Yen yang berlaku selama dua hari untuk Green line, Red line dan Blue line bus. Peta dan rute bus nanti akan diberikan pada saat tiket sudah kita beli. Waktu itu aku hanya menggunakan Red line yang keberangkatannya 15 menit sekali dan Green line yang berangkat tiap 30 menit. Bus hanya berhenti di halte yang telah ditentukan, tapi jangan bayangkan haltenya seperti yang ada di Indonesia karena hanya berwujud sign kecil seperti rambu lalu lintas. Tarif bus kalau kita ngeteng adalah mulai dari 150 Yen hingga 810 Yen.

Terdapat banyak penginapan di sekitar stasiun maupun di tepi Danau. Kebetulan tempatku menginap yaitu Capsule Inn Fujisan sangat strategis karena dekat halte bus, hanya terletak 100 meter dari Danau,  5 menit jalan kaki ke Lawson minimart dan hanya 5 menit naik bus menuju restoran halal masakan India Alladin Indo. Sayangnya ketika jam 13.30 mau titip koper ke hostel ternyata hostel masih tutup dan baru buka jam 16.00 bertepatan dengan waktu check-in. Jadilah si koper dibawa ke tempat makan dan muter-muter.

Tempat wisata di sekitar Danau Kawaguchiko yang dilewati Red bus maupun Danau Saiko yang dilewati Green bus jumlahnya cukup banyak. Idealnya minimal kita harus tinggal selama 3 hari kalau ingin puas menikmati semuanya. Hanya beberapa spot yang bisa ku kunjungi yaitu Oishi Park untuk menikmati beraneka warna bunga yang indah plus view danau dengan Gunung Fuji di belakangnya, Kachi-Kachi Ropeway untuk melihat danau dari atas bukit (meskipun akhirnya ga jadi naik gondolanya), seputar Ohashi Bridge dan nonton Hanabi ( Festival Kembang Api) di pinggir danau serta mengunjungi Saiko Iyashi No Sato Nenba (Pedesaan dan budaya Jepang tempo dulu).

Meskipun Gunung Fuji sempat menampakkan diri, tapi puncaknya tak terlihat tertutup salju seperti yang ada di kalender itu. Ya iyalah kan lagi musim panas, jelas saja saljunya ngumpet. Tapi view-nya tetap terlihat cantik sebagai background danau Kawaguchiko. 

#Jepang
#Kawaguchiko
#OishiPark















Sabtu, 01 September 2018

GPS

 
Mbolang tanpa pakai nyasar-nyasar itu bak masak sayur tanpa garam. Cemplang. Senjata andalan adalah GPS. Tapi kalau di subway sinyalnya suka hilang. Jadi jangan ragu untuk pakai GPS manual yaitu Gunakan Penduduk Setempat alias nanya ke informasi atau orang lokal.

Kali ini tujuanku mau ke kaki Gunung Fuji (Kawaguchiko). Dari penginapan di Asakusa  untungnya ada subway Ginza Line yang langsung ke Shibuya. Dari situ naik highway bus berangkat dari Shibuya Mark City (SMC). Ternyata DMC ini berupa mall yang cukup luas sehingga pas keluar subway njuk thingak-thinguk. Mana petunjuknya dalam huruf kanji pula. Padahal di tempat umum begini biasanya selalu ada petunjuk dalam bahasa Inggrisnya. Akhirnya pakai GPS manual itu tadi. Orang-orang Jepang sangat ramah dan helpfull bahkan mau nganterin hingga pintu keluar mall.

Ternyata terminalnya ada di lantai 5 Saudara-saudara. Karena sudah pesan bus secara online di https://www.highwaybus.com/gp/inbound/index  dari tanah air plus sekalian pilih tempat duduk khusus wanita dekat jendela, jadi sudah tahu jadual keberangkatan busnya, yaitu jam 10.40.

Jadi meskipun sudah paham rutenya, kalau mau ke mana-mana jangan mepet berangkatnya ya? Biar kalau kebingungan dan nyasar masih ada spare waktu. Dan kalau mentok pakai GPS di HP, jangan sungkan pakai GPS penduduk biar ga memble.

#JapanHighwayBus
#JapanSoloBackpacker

Jadual bus
Interior bus, ada toiletnya

Ruang tunggu di lantai 5

Jumat, 31 Agustus 2018

Warake


Awalnya aku memilih Nikko sebagai salah satu tujuan wisata karena lokasinya yang sejuk dan banyak tempat menarik yang sayang kalau dilewatkan. Ternyata di musim panas ada banyak Festival yang diselenggarakan di sana. Yang sudah jelas masuk ke itineraryku adalah nonton Festival Kembang Api (Hanabi) di Danau Kawaguchiko. Tak tahunya meskipun hanya menginap semalam aku dapat bonus bisa menyaksikan Warake (Festival Dance).

Sore itu sekitar jam 6 sore kami para tamu diantarkan oleh pemilik guest house (istrinya Sato san) berangkat ke lokasi festival di halaman pabrik Furukawa dengan naik bus gratis dari halte depan Stasiun. Turun dari bus sudah terlihat keramaian  pasar malam yang menjual bermacam-macam makanan dan minuman yang sepertinya sangat lezat rasanya. Aku ga berani beli karena seperti kata Sato San di Nikko tidak ada yang jual halal food. Jadi untuk amannya aku bawa bekal air putih di botol yang kuambil dari kran dapur guest house. Ya, karena air di Jepang bisa diminum langsung tanpa harus dimasak. Apalagi di sini sumbernya langsung dari mata air pegunungan. Airnya segar dan dingin seperti air kulkas.

Jam 19.00 tepat serentak semua lampu dinyalakan bersamaan dengan diputarnya iringan musik tradisonal. Warga yang tergabung dalam kelompok-kelompok berseragam pakaian khas daerah berwarna-warni mulai memasuki arena dan menari dengan gerakan sederhana. Gerakannya hampir sama seperti tarian Jawa sehingga orang asing yang ingin ikut menaripun tak kesulitan mengikutinya. Temanku yang dari Polandia bilang kalau aku penari yang bagus, bisa menari sepwrti orang Jepang. Ya iyalah mbak, cakep-cakep gini dulunya aku penari lho. Haha...

Malam itu semua warga dan pengunjung terlihat gembira menikmati acara ini. Badan yang tadinya lelah karena seharian keliling kuil langsung jadi fresh kembali.

#JapanNikko

Menunggu bus bersama teman-teman tamu guest house

Belajar menari sama nenek

Jajanan di pasar malam


Beli es krim dulu

Warha mulai berdatangan

Pakai rompi dulu sebelum menari



Nikko, Wisata Budaya dan Alam Jepang yang Menakjubkan

Shinkyo Bridge
Nikko sebelumnya hanya ku kenal sebagai salah satu nama hotel mewah di bilangan Jalan Thamrin, tapi sekarang hotel itupun sudah ditutup. Bermula dari dapat tiket promo ke Tokyo seharga 3 juta PP untuk bulan Agustus 2018 dan ternyata baru tahu kalau di bulan itu Jepang tengah musim panas yang suhunya bisa mencapai 38 derajat. Berhubung aku orangnya kalau kepanasan dan terkena terik matahari jadi gampang pusing dan berkunang-kunang, maka browsinglah tempat-tempat wisata yang berada di kawasan pegunungan yang lokasinya masih terjangkau dari Tokyo. Maklum cuma punya waktu 5 hari efektif di Jepang. Ketemulah dua lokasi yaitu Nikko dan Kawaguchiko yang semuanya cukup ditempuh dalam waktu 2,5 jam dari Tokyo.

Dengan berbekal Nikko Pass seharga 2000 Yen yang berlaku selama dua hari yang ku beli secara online di di sini, berangkatlah aku ke Nikko dari Stasiun Asakusa. Oiya Pass ini selain mengcover transportasi dengan kereta maupun bus di World Heritage area hingga Shin-Fujiwara Station (Nikko City), juga sudah termasuk tiket kereta Asakusa - Nikko PP dengan kereta lokal. Kalau kita mau naik kereta limited express atau Shinkansen maka harus bayar lagi tapi dengan diskon 20%. Harga tiketnya sebesar 2800 Yen sekali jalan. Tak salah aku pilih kereta lokal yang meskipun harus dua kali transfer ganti kereta di Hikifune dan Minami Kurihashi Station, karena sampainya hanya selisih 30 menit dibandingkan naik kereta cepat juga di sepanjang perjalanan aku bisa menikmati indahnya pemandangan pedesaan khas Jepang. Cantik sekali. Oiya selain Nikko Pass yang berlaku selama 2 hari, masih ada Nikko All Pass yang berlaku selama 4 hari dan transportasinya mencakup seluruh wilayah Nikko seharga 4500 Yen. Pilihan wisata dengan Nikko Pass adalah Area World Heritage, Tobu World Square, Edo Wonderland dan Kinugawa Onsen. Karena keterbatasan waktu aku hanya ambil lokasi wisata satu dan dua.

Kereta menuju Nikko sama persis dengan kereta commuter yang ada di Jakarta. Ya iyalah, kan kereta CL Jakarta memang import bekas dari sana. Hehehe.. Saat ganti kereta yang terakhir bahkan penampakannya seperti kereta tua. Tapi meskipun begitu kereta bersih dan tentu saja selalu terawat dengan baik. Di Hikifune Station aku dapat teman seperjalanan seorang traveler dari Inggris bernama Darliah. Dia kebingungan mau naik kereta apa karena memang jalur kereta di Jepang sangat ruwet kalau kita belum paham.

Sesampainya di Tobu Nikko Station, saat keluar dari peron ku ambil jalur khusus dekat Informasi karena Pass nya tidak bisa digunakan di mesin tiket. Jadi saat kita mau keluar ataupun masuk stasiun harus menunjukkan langsung Passnya pada petugas. Secara umum stasiunnya tidak begitu besar berupa bangunan sederhana tapi cukup unik. Ada tempat penitipan koper dan juga musholla di lantai 2. Tapi kalau mau sholat harus minta kuncinya ke petugas informasi lebih dulu ya.. Di depan stasiun langsung terhubung dengan bus yang menuju ke kawasan UNESCO World Heritage maupun yang ke arah Chuzenji Lake yang hanya tercover oleh Nikko All Pass.

Setelah mengisi perut dengan roti bakar bekal dari rumah - Alhamdulillah perutku tidak rewel, apa saja bisa masuk tak harus nasi, bergegas aku menuju ke halte menunggu bus 2B yang rutenya melewati kawasan World Heritage yang terdiri rutenya bisa dimulai dari Shinkyo Bridge dan kemudian berlanjut ke tiga kuil besar yaitu Rinnoji Temple, Toshogu dan Futarasan Jinja. Ketiga temple ini letaknya berada dalam satu komplek yang luas, jadi kita bisa jalan kaki saja untuk mengunjunginya sambil menikmati hijau dan segarnya udara di sekelilingnya. Naik turun bus cukup dengan menunjukkan kartu sakti Nikko Pass maka kita akan gratis secapeknya selama dua hari. Pass tidak bisa digunakan sebagai tiket masuk ke kuil ya, jadi kita harus beli tiket terpisah yang tarifnya berkisar antara 300 - 1300 Yen. Kemarin aku ga masuk ke dalam kuil, cukup melihat-lihat saja dari luar sudah puas.

Kuil Toshogu adalah salah satu kuil yang ngehits yang harus dikunjungi - dibangun pada tahun 1617 untuk menghormati Tokugawa Ieyasu yang merupakan pendiri keluarga Tokugawa yang menguasai seluruh wilayah Jepang pada tahun 1600 - 1869. Di depan kuil terdapat Pagoda merah 5 lantai setinggi 36 meter bernama Pagoda Gojunoto. Yang menarik adalah di jalanan depan Rinnoji Temple ku temukan pertunjukan topeng monyet. Hampir sama dengan yang ada di Jakarta dulu tapi bedanya si monyet terlihat enjoy dalam bermain karena kalau capek dia dipijitin sama pawangnya.

Shinkyo Bridge baru ku kunjungi pada hari kedua karena pas hari pertama busnya sudah kelewatan. Mau balik jalan kaki kok males, sudah capek. Jembatan kayu berwarna merah yang melintasi sungai Daiya ini merupakan pintu gerbang masuk ke kuil-kuil besar yang ada di Nikko.  Jangan lupa untuk foto-foto di sini karena ini salah satu icon kota Nikko. Untuk melintasi jembatan tiket masuknya sebesar 300 Yen.

Meskipun Nikko bukan merupakan tujuan wisata utama buat wisatawan dari Indonesia dan kali ini hanya bisa mengunjungi kawasan World Heritage dan Tobu World Square, tapi melihat keindahan alamnya, keramahan warganya dan keanekaragaman budayanya, maka sebenarnya sayang kalau tempat ini dilewatkan begitu saja dalam itinerary anda. Beneran deh, nyesel kalau tak mampir ke sini. Kalau ada kesempatan balik ke Jepang lagi, aku akan agendakan lagi ke sini karena ingin menikmati keindahan alam di Chuzenji Lake, Kegon Falls, Ryuzu Falls dan sekitarnya. Hanya satu kekurangannya, belum ada restoran halal di sini. Jadi kalau mau aman sebaiknya bawa bekal lauk dari rumah dan cari penginapan yang ada dapurnya sehingga bisa masak sendiri.

#JapanNikko

Tobu Nikko Station

Musholla di lantai 2 Stasiun

Kereta jadul yang masih perkasa

Rinnoji Temple

Pintu masuk Toshogu Shrine

Pagoda Gojunoto

Gerbang masuk Futarasan Jinja

Lipatan kertas di depan Kuil. Sepertinya ini berisi harapan/doa

Gadis Jepang dengan Yutaka

Pemandangan menuju Kuil

Topeng monyet ala Jepang









Rabu, 29 Agustus 2018

Sato San

Sato, teman ngobrol di kala lapar melanda
"Siti Saaan...!" Seorang lelaki tinggi langsing langsung menyapaku sambil tersenyum lebar begitu aku membuka pintu guest house yang letaknya hanya 200 meter dari stasiun Tobu Nikko, Perfektur Tochigi, 2,5 jam perjalanan naik kereta dari Tokyo. Sejenak aku terkejut kenapa dia begitu yakin kalau tamunya itu bernama Siti? Oh rupanya aku adalah satu-satunya tamu yang hari itu belum check in. Aku memang sudah booking guest house ini jauh hari sebelum berangkat ke Jepang sehingga namaku sudah bertengger di list tamunya. Pada saat dia lihat data pasporku dia bilang begini : "Wah kita sepantaran, tahun lahir kita sama." katanya dengan wajah tetap tersenyum ramah.

"Nama saya Sato", begitu dia memperkenalkan diri. Ku tanya apa artinya, dia memjawab kalau ini nama pasaran dan tidak ada artinya. Kalau di Indonesia mungkin seperti nama Eka. Kemudian dia mengantarku keliling guest housenya yang mungil. Di lantai bawah ada dua kamar untuk laki-laki, ruang bersama untuk ngobrol dan makan, satu kamar mandi, satu toilet dan dapur dengan alat memasak yang cukup lengkap. Ya, aku memang mencari penginapan yang ada dapurnya agar bisa masak sendiri - minimal masak mie instant dan oat. di lantai atas ada satu kamar khusus perempuan dengan dua tempat tidur susun. Dan inilah kamarku yang kemudian aku tahu tiga penghuni lainnya adalah solo backpacker juga seperti aku yang berasal dari Singapura, Perancis dan Polandia.

"Oiya apakah ini kunjungan pertamamu ke Jepang?" tanya Sato. Ketika ku jawab iya Sato kemudian menjelaskan soal penggunaan tissue toilet. "Di Jepang tissue toilet harus dibuang ke lobang kloset, bukan dibuang ke tempat sampah seperti di negara lain karena tissuenya sudah dirancang akan hancur kalau terkena air. Tapi untuk tissue makan atau tissue wajah tidak boleh. Hanya khusus tissue toilet saja." Ooooo pantesan semalam pas di toilet bandara kok tempat sampahnya kecil banget. Ternyata ini to sebabnya? Maklum aku tidak baca petunjuknya secara detail. Jadi tempat sampahnya itu hanya untuk pembuangan semacam pembalut wanita saja.

Setelah meletakkan tas di kamar, aku kembali turun ke lantai satu untuk masak mie instant. Bukan cuma sekedar mau ngirit, tapi ternyata di Nikko memang tak ada satupun restoran halal. Jadi biar lebih simpel makanya aku bawa sedikit bahan makanan mentah dan lauk demi menghadapi kondisi darurat seperti ini. Sato membantuku menghidupkan kompor listrik. Maklum selain petunjuknya dalam bahasa Jepang juga tak pernah memakai kompor jenis ini. Tapi untuk ada juga kompor gas kecil, jadi pas masak di hari berikutnya aku tak perlu minta bantuan.

Sambil makan kami masih tetap ngobrol ringan. Sato bilang kalau malam ini akan ada Festival Dance dan para tamu akan diajak nonton bareng. Dia menawarkan padaku apakah aku akan ikut. Tadinya aku ragu karena menduga ini adalah dance ngak ngek ngok layaknya di diskotik-diskotik itu. Tapi ketika dia bilang kalau semua warga dari anak kecil hingga kakek nenek, laki perempuan pada hadir semua, maka aku kemudian mengiyakan tawarannya.

Jam 18.00 kami berangkat ke lokasi festival ditemani oleh istri dan adiknya Sato dengan naik bus gratis. Dan aku tidak salah. Aku sangat menikmati festival dance tradisional itu yang tak jauh beda dengan tarian Jawa. Bahkan akupun ikut larut bersama warga menari berkeliling arena sampai basah karena berkeringat. Ah, kesan pertamaku tentang Jepang dan orang-orangnya yang ramah ternyata sangat berkesan hingga di sudut hatiku. Terima kasih Sato dan fam yang telah membuatku seolah berada di rumah sendiri.

#JapanNikko

Adiknya Sato

Dapur

Guest house mungil nan nyaman