Kamis, 09 Februari 2012

Desa Terisolir di Jember Itu Kini Berlimpah Air


Pagi di bulan Februari 2012 itu cuaca di Jember cukup cerah ditandai dengan bersinarnya sang mentari tanpa terhalang awan. Kami bertiga yaitu saya, Pak Shufyan Pimpinan Dompet Dhuafa (DD) Jatim serta Pak Didi mitra kerja kami memulai perjalanan menuju Dusun Karang Harjo, Desa Curah Takir, Kec. Tempurejo, Kab. Jember , lokasi salah satu program DD yang bertajuk “Air Untuk Kehidupan”.

Meskipun desa ini terletak jauh di luar kota, perjalanan terasa tidak membosankan, apalagi bagi saya yang terbiasa dengan  semrawutnya lalu lintas di ibukota Jakarta. Sama sekali tidak kami temukan kemacetan disana. Ditambah bonus hijau, teduh dan indahnya pemandangan ketika memasuki perkebunan karet yang diselingi dengan pohon jati dan sengon laut milik PTP Nusantara XII (Persero) Glantangan,  terasa menyejukkan mata sehingga cukup untuk menebus rasa lelah atas perjalanan Surabaya – Jember dengan kereta pada malam sebelumnya.

Hijaunya kebun karet nan membentang luas
Menikmati udara yang sejuk dan segar
Setelah satu jam perjalanan melewati jalanan yang beraspal  mulus, kecuali sedikit jalan tanah menjelang jalanan akhir di perkebunan, sampailah kami di lokasi yang kami tuju. Sebuah desa yang terisolir karena terletak di tengah-tengah perkebunan milik PTPN XII yang hanya dibatasi sungai dan bersebelahan dengan perbukitan, sehingga satu-satunya akses keluar masuk desa ini harus melewati perkebunan ini. Tak heran jika sebagian besar warga bekerja sebagai buruh lepas penyadap karet dengan penghasilan rata-rata sekitar Rp 1 jutaan per bulan.

Buruh penyadap karet siap bekerja
Mobil tidak bisa masuk ke Desa karena jembatan yang ada hanya cukup untuk kendaraan roda dua, sehingga kami parkir di area perkebunan dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terdengar pengumuman dari masjid agar warga berkumpul di Pos Yandu untuk menyambut kedatangan kami.

Jalan setapak untuk masuk ke kampung
Untuk memasuki kampung, kami harus menuruni jalan yang di dasarnya terdapat  sungai kecil dan cerukan tanah berisi mata air di dalamnya.  Di tempat inilah warga selama puluhan tahun melakukan aktivitas mandi, cuci dan buang air. Sedangkan untuk keperluan memasak mereka harus mengambil air dari mata air kecil di samping sungai, dimana mereka harus antri karena kecilnya debit air yang dikeluarkan. Selanjutnya mereka pikul air ini dengan jirigen besar menuju rumahnya yang terletak di atas.

Di sungai inilah dulu warga mengambil air untuk keperluan sehari-hari
Setelah melihat-lihat sungai dan saluran pipa air, kami langsung menuju ke Pos Yandu yang biasa dipergunakan sebagai tempat pertemuan. Terlihat rumah disekitarnya masih banyak yang terbuat dari bilik, bukan tembok permanen. Disana kami disambut oleh Pak Kampung – julukan bagi Kepala Dusun dan beberapa warga untuk berbincang-bincang sejenak. Kami diperlihatkan desain program air yang dibuat secara sederhana dengan ditulis tangan. “Ini sumber airnya ada di atas di area perkebunan kira-kira 3 km dari desa ini yang dialirkan melalui pipa-pipa. Agar pembagian air merata, dibuat  satu bak induk yang kemudian di bagi-bagi lagi menjadi 6 bak tandon yang ukurannya lebih kecil. Dari tandon inilah air dialirkan ke rumah-rumah warga” jelas Pak Kampung yang benama asli Pak Hariyadi ini.

Sekarang air yang melimpah tersedia di halaman rumah 

Menengok dapur warga 
 Alhamdulillah warga desa yang berjumlah 164 KK yang sebagian besar adalah keturunan Madura, sekarang sudah bisa menikmati air langsung di rumahnya tanpa perlu lagi naik-turun untuk mengambil air ke sungai. “Bahkan sekarang air berlimpah. Makanya kami juga berkeinginan untuk memelihara ikan untuk memanfaatkan luberan air ini, tapi kami tak cukup punya modal untuk membeli bibit ikannya. Sayang rasanya kalau air ini terbuang percuma.” Demikian kata Pak Kampung menutup pembicaraan. 
Menuju sumber air yang ada di tengah hutan
Pak Kampung di sumber air yang melimpah ruah