Sabtu, 24 November 2012

Wow, Jalan-jalan Ke Kuala Lumpur Cuma Perlu Rp 1.500.000..!

Awalnya saya tidak merencanakan akan liburan ke ibu kota negara Malaysia ini. Tapi saat ada promo tiket pesawat murah dari maskapai yang sering memberikan diskon besar-besaran, akhirnya saya iseng ikut hunting tiket. Ketika saya lihat masih ada kursi kosong Jakarta-Kuala Lumpur untuk keberangkatan di akhir Mei 2012 dengan harga Rp 335.000 pp dan sudah termasuk bis bandara (sky bus) ke KL Sentral pp senilai Rp 60.000, mata saya langsung berbinar-binar. Tak masalah walaupun saya harus membelinya lebih dari 6 bulan sebelumnya.

Selama 3 hari 3 malam saya menjelajah KL dan sekitarnya dengan total biaya hanya sekitar Rp 1,5 juta saja. Bagaimana bisa? Ya bisa lah, asal kita rencanakan jauh hari sebelumnya  sehingga bisa mendapatkan tiket pesawat dan penginapan murah serta menyusun itinerary lokasi wisata mana saja yang akan kita kunjungi.

Tak perlu khawatir dengan transportasi, karena dari ujung ke ujung alat transportasi di sana banyak tersedia dan tentunya nyaman serta nyaman, walaupun bagi seorang perempuan yang pergi backpackeran sendirian seperti saya ini. Di sana tersedia MRT, monorail dan bis yang semuanya ber AC dan waktu keberangkatannya selalu on time.

Sekarang mari kita kalkulasi biayanya. Kurs saat itu RM1 = Rp 2.600. Untuk tiket pesawat Jakarta-KL pp dan bis bandara di KL pp Rp 335.000, beli bagasi pulang Rp 80.000. Penginapan di hotel backpacker, seperti asrama tapi tetap ada kamarnya berbentuk kapsul yang unik, karena untuk memasukinya kita harus merangkak J (UFO Capsule Hotel dekat Stasiun monorail Imbi) selama 3 malam Rp 300.000, tiket masuk ke Petronas Twin Tower Rp 200.000, makan selama 3 hari Rp 300.000 (makanan di sana murah, bahkan kalau kita mau blusukan, harganya lebih murah dibandingkan di Jakarta. Nasi lemak plus teh tarik cuma Rp 8.000, air mineral 1,2 lt hanya Rp 4.000. Untuk oleh-oleh (10 kaos, coklat dan 2 lusin gantungan kunci) Rp 400.000. Sementara untuk transport lokal ke lokasi wisata KLCC (Twin Tower), Bukit Bintang, Batu Caves, Putra Jaya dan Petaling (China Town) saya memilih menggunakan naik angkutan umum (LRT, monorail, bis dan KLIA transit) total Rp 85.000.

Nah, sekarang siapa bilang liburan ke luar negeri itu mahal dan harus nunggu kaya dulu?

Bandara KLCC
KL Sentral, terminal terpadu

Mesin pembelian tiket, tak perlu antri di loket

Suasana di dalam LRT. Nyaman dan aman
 
Monorail

Nasi lemak dan teh tarik, cuma Rp 8.000

Penginapan. Kamarnya seperti kapsul, Rp 100rb per malam

Kamis, 15 November 2012

Asa Dari Bumi Sumbawa


Seperti kita ketahui, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah peternakan di Indonesia dimana sebagian besar kebutuhan daging sapi didatangkan dari sini. Hampir di setiap rumah pasti memelihara sapi, baik milik sendiri maupun memelihara milik orang lain dengan sistem bagi hasil atas anak sapi yang dilahirkan.

Bersama pendamping dan peternak Bima
Meskipun demikian, tingkat penghasilan penduduknya belumlah dapat dikatakan sejahtera. Terbukti banyak dari mereka baik laki-laki maupun peremuan yang memilih untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di bidang informal, yaitu sebagai pembantu rumah tangga maupun berkerja di perkebunan. Negara favorit yang menjadi tujuan mereka adalah Timur Tengah dan Malaysia.

Mengingat potensi yang besar namun belum tergarap dengan optimal, pada bulan Agustus 2009, Dompet Dhuafa menurunkan program pembinaan dan pendampingan atas dua puluh enam peternak Sapi Bali yang tersebar di Kecamatan Lambu, Woha dan Monta dengan jumlah dana yang disalurkan total sebesar Rp 562.900.000 (Lima ratus enam puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) yang diberikan secara bertahap hingga akhir tahun 2011.

Bisa dikatakan ini merupakan titik balik kehidupan bagi para peternak, karena selama ini para mereka memelihara sapi dengan cara digembalakan di gunung, di kebun maupun di ladang. Secara perlahan, setelah diberikan pelatihan dan pendampingan seputar pemeliharaan ternak, maka secara bertahap mereka mulai melakukan pengandangan ternak.

Keuntungan yang mereka peroleh, setelah ternak dikandangkan, hasilnya menjadi lebih gemuk karena terjamin makanannya, tidak mudah terkena penyakit dan kotorannya mudah dikumpulkan  untuk kemudian dijadikan kompos. Meskipun kondisi alam di Bima adalah berbukit kapur yang akan menjadi gersang pada musim kemarau, akan tetapi di tiap lembahnya tetap terlihat subur karena masih banyak terdapat sumber air. Dengan demikian potensi hasil pertanian juga cukup menjanjikan.

Selain padi, bawang merah, jagung maupun kacang tanah merupakan beberapa komoditi pertanian yang mudah kita temukan di persawahan di sepanjang jalan. Sayangnya karena distribusi pemasaran yang belum tertata dengan baik, menyebabkan harga produk pertanian ini sangat rendah sehingga tidak dapat mengangkat penghasilan petani. Bayangkan  sekilo bawang merah hanya dihargai Rp 2.500 oleh para tengkulak. Menyedihkan sekali.

Saat kami berbincang dengan para peternak penerima manfaat, dengan antusias mereka bercerita bahwa selain mendapatkan ilmu dan ketrampilan beternak dengan benar, ketrampilan seputar kewirausahaan, pembuatan kompos, pembuatan makanan ternak, dan juga pengetahuan tentang pentingnya berorganisasi dengan membentuk kelompok juga mereka terima.

Satu hal yang sangat berkesan bagi mereka adalah untuk pertama kalinya warga akhirnya dapat merasakan daging kurban. Program Tebar Hewan Kurban (THK) yang dijalankan Dompet Dhuafa tak disangka sampai juga di daerah mereka yang terpencil jauh dari keramaian kota. Bagi mereka, daging kambing adalah makanan yang sangat mewah karena hanya dirasakan pada saat Idul Adha atau saat ada hajatan.

Ya, program THK memang berusaha untuk menyalurkan kurban dari para donatur agar dapat merata hingga pelosok Nusantara. Ucapan terima kasih yang tulus mereka sampaikan kepada para donatur Dompet Dhuafa sehingga para peternak dapat meningkat penghasilannya. Semoga semua potensi sumber daya di sini berupa pembuatan garam, sektor perikanan yang melimpah, juga dapat segera tergali dan bermanfaat sepenuhnya bagi anak negeri. Aamiin.


Bima nan gersang

Ladang penggembalaan sapi


Rabu, 14 November 2012

Menikmati Sunset di Pantai Tanjung Tinggi

Masih ingat dengan film Laskar Pelangi yang tersohor itu? Salah satu lokasi shooting yang digunakan adalah Pantai Tanjung Tinggi yang terletak di barat daya pulau Belitung. Cukup dengan 15 menit menyusuri jalanan beraspal nan mulus dari kota Tanjung Pandan ke arah utara, kita sudah bisa sampai di tempat yang sangat eksotis ini.

Usai menyelesaikan tugas kantor di Pulau Buku Limau dan Simpang Pesak, saya langsung meluncur kembali ke Tanjung Pandan dan tentunya mampir dulu ke pantai yang merupakan salah satu icon pariwisata Belitung ini. Kedatangan saya di sore itu disambut oleh rintik-rintik hujan. Ya, karena sudah memasuki bulan November, hampir tiap hari Belitung disiram air hujan. 

Begitu memasuki lokasi pantai, kita akan disambut dengan batu-batu raksasa sebesar rumah yang seakan menjadi benteng pelindung. Entah dari mana datangnya batu-batu itu, mengingat di pulau ini tidak terdapat gunung berapi yang aktif.

Sambil menunggu hujan reda, saya mampir ke warung yang letaknya tak jauh dari tempat parkir. Kali ini saya kembali menemukan peristiwa unik, setelah peristiwa sakit gigi di tengah laut yang bisa dilihat di sini

Saat tengah minum, ada bapak-bapak yang menghampiri dan menawarkan untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan di bagian belakang warungnya. Dia mengatakan kalau hari itu keluarganya sedang hajatan dan kami dipersilahkan untuk ikut bergabung. Berhubung memang tidak lapar, dengan halus saya coba menolak. Tapi tiba-tiba teman saya yang asli Belitung bilang bahwa adat di sini apabila ada orang menawarkan makanan, maka wajib memenuhinya walaupun cuma sedulit. Istilahnya bernama Kempunan. Kalau tidak, mereka akan sangat tersinggung dengan penolakan kita. Akhirnya saya mencicipi hidangan untuk menghormati bapak pemilik warung dan ternyata ada menu khas bernama "gangan", yaitu masakan daging berkuah kuning dengan rasa kari yang kuat. Lumayan enak juga, apalagi gratis.. hehehe.. 

Setelah lebih kurang lebih setengah jam menunggu, akhirnya hujan berhenti dan sang mentari langsung menampakkan diri. Alhamdulillah.. Bergegas kami menuju ke pantai yang terletak di balik bebatuan besar. Saya berasa tengah bermain labirin  diantara batu-batu yang berkelok-kelok. Violaaa..! Di depan mata terhampar pantai berpasir putih bersih dengan air laut berwarna biru kehijauan dan dihiasi batu-batu besar yang berserakan. 

Tak puas memandangi laut dari tepinya, saya mencoba naik ke bebatuan raksasa itu. Dengan susah payah saya melompat, merayap untuk mencapai puncaknya. Maklum karena barusan hujan, bebatuan itu jadi licin dan faktor "U" juga membuat badan ini menjadi tak lincah lagi. hehe.. Dan ternyata pemandangan dari atas terlihat makin mempesona. Saya sebelumnya juga pernah menemui panorama yang sama saat ke pulau Natuna, tapi tetap saja rasa kagum akan ciptaanNya tak bisa saya sembunyikan. 

Turun dari bebatuan, saya menuju ke sudut pantai yang lain untuk menyongsong momen tenggelamnya sang surya. Meski tak sempurna, karena awan mendung sebagian masih terlihat di angkasa, detik-detik itu terasa sayang untuk dilewatkan begitu saja. Ah, Belitung. Sepertinya pulau ini diciptakan sebagai salah satu surga dunia.

"Monumen" Laskar Pelangi di pintu masuk

Batu-batu besar berserakan di sepanjang pantai

Airnya bening menyegarkan

Menikmati pemandangan dari atas bebatuan

Pemandangan dari sisi yang lain


Sabtu, 03 November 2012

Pulau Mendanau Nan Memukau


Dermaga Tanjung Nyato, Selat Nasik
Sejak film Laskar Pelangi diputar pada tahun 2008 yang lalu, nama Belitung ikut terangkat ke permukaan sehingga banyak orang ingin mengunjungi pulau yang terkenal dengan pantai-pantainya yang cantik dihiasi batu-batu besar dan berpasir putih.

Alhamdulillah pada akhir Oktober 2012 selama 4 hari, saya berkesempatan mengunjungi pulau yang merupakan bagian dari Propinsi Bangka-Belitung untuk melakukan audit program pengiriman lima guru Dompet Dhuafa yang tersebar di empat pulau, yaitu : Belitung, Mendanau, Seliu dan Buku Limau.

Perjalanan saya di Selasa pagi 30 Oktober 2012 berjalan dengan lancar. Saya memang lebih suka mengambil penerbangan paling pagi karena kemungkinan delay kecil dan lalu lintas Jakarta masih lancar sehingga tidak dipusingkan dengan kemacetan. Pesawat berangkat jam 6 sesuai jadual dan mendarat di Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan sejam setelahnya. Dalam sehari ada 6 kali penerbangan dari Jakarta, sehingga kita bisa leluasa dalam memilih waktunya. 

Menjelang pendaratan saya melongok ke jendela. Bukan pemandangan cantik yang saya lihat, tapi lobang-lobang besar bekas tambang timah yang tak ditutup kembali sehingga terlihat seperti boncelan-boncelan wajah yang terkena penyakit cacar.

Tak lama menunggu di pintu kedatangan, Mbak Rini - guru Dompet Dhuafa yang bertugas di SD Muhammadiyah menjemput saya dengan motor sewaan seharga Rp 30.000 per 12 jam. Di Tanjung Pandan ini tidak ada angkutan umum, jadi saya harus menyewa kendaraan. Kalau sewa mobil, tarifnya sekitar Rp 500.000 per hari sudah termasuk sopir dan bensinnya. 

Setelah menyimpan tas di asrama sekolah, kami berdua langsung menuju ke lokasi program di Selat Nasik, Pulau Mendanau yang terletak di sebelah barat pulau Belitung. Pertama-kama kami harus menempuh jalan darat selama 45 menit. Perjalanannya terasa jauh buat saya karena jalanan di sini sangat mulus dan sepi sehingga berasa tak sampai-sampai jua. Meski begitu pemandangan pantai di kanan jalan yang indah menjadikan nya menjadi menyenangkan.

Akhirnya sampai juga kami di Dermaga Pegantongan untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu. Sayang sekali perahu baru saja berangkat sehingga kami harus menunggu perahu berikutnya. Setelah 15 belas menit menunggu, yang dinanti datang juga. Bergegas kami naik ke perahu berikut motor yang kami tumpangi. Tarif yang kami bayar semuanya Rp 45.000 sekali jalan. Motor dihitung seperti halnya penumpang.

Sengaja saya memilih keluar dari tempat duduk penumpang menuju ke atas untuk menikmati indahnya alam sekitar. Pagi itu laut terlihat sangat bening berwarna biru kehijauan, langitnya juga sangat cerah dan sang angin bertiup tak begitu kencang. Benar-benar sempurna, hingga perjalanan selama 40 menit  tak terasa dan kami sudah  sampai di Dermaga Tanjung Nyatoh, Selat Nasik. Turun dari perahu kami harus berhati-hati karena jalan penghubung ke darat sudah rusak dan tak ada pagar di kanan kirinya.

Rimbunnya hutan bakau, kicauan burung dan beningnya air laut menyambut kedatangan kami. Berbeda dengan Pulau Belitung, jalanan di sini masih belum bagus, jadi tak bisa memacu motor dengan kecepatan tinggi. Perlu waktu 20 menit lagi agar kami sampai di tujuan akhir, yaitu SDN 1 Selat Nasik yang terletak di perkampungan nelayan.

Meskipun rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, tapi sebenarnya mereka bukanlah termasuk orang tidak mampu. Penghasilan dari menangkap ikan termasuk besar, apalagi jika yang mereka tangkap adalah teripang yang terkenal mahal. Penduduknya heterogen dari berbagai suku. Selain penduduk asli, pendatang paling banyak berasal dari Bugis yang memang terkenal suka mengarungi samudera dan tersebar di mana-mana. Tadinya ada transmigran dari Jawa sebanyak 50 KK, tapi kabarnya hanya tinggal 5 KK karena air di sini termasuk sulit untuk pertanian. Tak heran saat makan siang saya ketemu tempe goreng. Lauk yang langka ditemui di pulau-pulau yang jauh dari kota.

Saya sarankan apabila mau kesini, datanglah di bulan Februari saat durian tengah berbuah. Ya, pulau ini adalah penghasil durian dimana saat panen harganya bisa hanya Rp 1.000 per biji. Meskipun ukurannya tidak besar, tapi katanya duriannya sangat manis dan wangi. Yah, saya akhirnya hanya bisa membayangkan saja tanpa bisa mencicipinya. Hehe..

Setelah semua pekerjaan selesai ditunaikan, sudah bertemu mbak Uthe – Guru DD yang ditugaskan dan bertemu Kepala Sekolah, buru-buru kami harus kembali menuju Dermaga agar bisa barengan dengan rombongan Inspektorat yang juga akan kembali ke Tanjung Pandan. Tapi sesampai di sana ternyata perahu sudah berangkat. Jadilah kami menyewa seharga Rp 150.000 karena hari sudah sore dan tak ada lagi perahu yang akan menyeberang.  

Bersama kami ikut juga Pak Yanto, guru SDN 1 Selat Nasik yang akan mengikuti pelatihan di kota. Ada peristiwa unik yang cukup menggelikan. Tiba-tiba pak Yanto sakit giginya kambuh saat di atas perahu. Meski sudah minum obat penghilang nyeri, ternyata belum bisa meredakan sakitnya. Akhirnya dia mengambil gelas dan langsung menciduk air laut. Saya kira untuk cuci tangan, ternyata dipakai untuk kumur-kumur. Iya juga ya, kalau di rumah kan kumurnya pakai air garam, di atas perahu ya cukup pakai air laut yang memang sudah asin. Praktis. Hahaha..

Di tengah perjalanan terlihat mendung cukup gelap. Ngeri juga takut kehujanan di tengah laut karena di seberang terlihat beberapa kali kilat membelah angkasa. Syukur Alhamdulillah kami selamat sampai dermaga.  Hujan baru turun dengan derasnya setelah kami menginjakkan kaki di daratan. Breeees...! dingiiiin...

Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan
Lubang menganga bekas tambang timah
Jalanan menuju Dermaga Pegantongan beraspal mulus dan sepi dengan bonus pemandangan pantai  yang cantik
Menikmati pemandangan
Hutan bakau nan hijau tempat para burung berkicau
Rumah Nelayan
Jalanan di pulau. Di hutan sepanjang jalan inilah pepohonan durian tumbuh dengan suburnya