Jumat, 06 Juli 2012

Pulau Lanjukang Kini Mulai Berkembang

Jalan di perkampungan

Mungkin sebagian dari kita belum pernah mengenal bahkan mendengar nama pulau kecil seluas 2,5 Ha yang merupakan pulau terluar di Sulawesi Selatan ini. Meskipun masih merupakan bagian dari Kotamadya Makassar, tapi karena untuk menuju kesana dibutuhkan waktu antara 2-3 jam perjalanan dengan perahu motor serta tidak adanya sarana angkutan umum, menjadikan pulau ini terpencil dari hiruk pikuk kehidupan manusia.


Awalnya tak ada fasilitas berarti di tempat yang hanya berpenduduk 13 KK atau 43 jiwa ini selain jalan conblock yang menghubungkan pantai dengan rumah warga, sehingga mereka harus menerima kondisi apa adanya dengan segala keterbatasan. Puskesmas keliling hanya datang 3-4 bulan sekali sehingga praktis jika ada yang akan melahirkan  harus bertolak ke kota. Paling tidak si ibu hamil ini akan tinggal di kota minimal selama satu bulan di rumah saudaranya. Begitu juga jika ada yang sakit, maka Puskesmas terdekat yang harus dituju ada di Pulau Lumbu-Lumbu yang ditempuh selama satu jam berperahu.

Saat kami datang untuk shooting film dokumenter, pagi itu cuaca sedang tidak bersahabat karena sudah dua hari angin bertiup kencang sehingga semua penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tidak bisa melaut. Kami juga merasakan saat  hampir sampai di pulau, ombak memang terlihat tinggi sekitar 1-2 meteran. Di saat libur melaut, mereka pergunakan waktu dengan bermain sepak bola bersama. Ada yang unik di sini, yaitu sebagian warganya sekitar 20 persen bertubuh mini. Anak-anakpun juga mengalami kebotakan dini sejak berumur lima tahunan. Entahlah apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi.

Setahun yang lalu Dompet Dhuafa memberikan penghargaan sebagai “Kampung Inspiratif” karena mereka mampu memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup secara mandiri. Karena tak ada sekolah, seorang warga yang hanya lulusan Sekolah Dasar akhirnya menjadi guru bagi anak-anak. Bagi mereka cukuplah asal bisa membaca dan menulis saja meskipun sebenarnya ada keinginan untuk mempunyai ijazah formal.

Ketika air bersih susah didapatkan, mereka menampung air hujan untuk memasak. Jika telah tiba musim kemarau, mau tak mau harus membelinya dari Makassar. Biasanya seminggu sekali mereka berbelanja dengan biaya perjalanan sekitar Rp 100.000. Saat ingin buang air besar, maka lautlah yang menjadi tujuannya.

Saat itu Dompet Dhuafa memberikan bantuan berupa jala untuk semua Kepala Keluarga, sebuah perahu nelayan, membangunkan WC dan memberikan dua buah penampungan air hujan. Alhamdulillah ternyata setelah itu menyusul ada beberapa bantuan yang datang. Dua bulan yang lalu mereka menerima bantuan berupa solar cell di tiap rumah yang cukup untuk menghidupkan dua lampu dari salah satu LSM. Kampung yang dulunya hanya berpenerangan pelita, sekarang terlihat hidup dan berwarna. Selain itu juga ada bantuan dua ratus terumbu karang dari Dinas Kelautan yang bekerjasama dengan salah satu LSM yang berbeda. Warga berharap jika terumbu karang telah tumbuh dan ikan-ikan hidup di dalamnya, maka pariwisata bahari akan berkembang dan mereka akan ikut merasakan dampaknya.

Foto-foto lainnya
Main bola di laut
Perahu nelayan bersandar di pantai

Perjalanan menyeberang ke pulau
Rumah warga
Melepas lelah setelah shooting