Senin, 10 Desember 2012

Rumah Semut Raksasa Ini Hanya Ada di Papua

Tingginya hampir menyentuh kabel listrik

Jika selama ini aku hanya tahu sarang semut asal Papua yang  bentuknya seperti umbi dan katanya bermanfaat ampuh sebagai obat berbagai penyakit, ternyata di sana ada sarang semut yang berbeda yang ukurannya luar biasa besar buat ukuran makhluk yang kecil mungil ini.

Aku menemukan rumah semut raksasa ini saat tengah melakukan perjalanan ke ujung timur Indonesia, Merauke. Untuk melihatnya, yang paling mudah adalah dengan menuju ke arah timur, yaitu ke Tugu Perbatasan Sota yang merupakan batas negara dengan Papua Nugini.

Dari kota Merauke, perlu waktu sekitar 45 menit saja atau kira-kira 60 km jaraknya. Di sepanjang perjalanan menyusuri hutan, di kanan kiri jalan rumah-rumah semut berukuran kecil setengah meteran sudah banyak kita jumpai. Tapi yang paling besar ya yang ada di Taman Sota ini yang mempunyai tinggi tiga meteran. Sayangnya rumah semut yang di sini sudah tidak alami lagi dan sepertinya puncaknya sudah patah.

Nah, jika mau lihat yang aslinya, di Distrik Salor tempatnya. Sayangnya lokasi ini sulit ditempuh karena jalannya yang rusak parah dan ditambah harus menyeberangi sungai tanpa jembatan, maka satu-satunya cara yang paling mudah adalah dengan bersepeda motor. Itupun bukan motor biasa, karena motor bebek atau sejenisnya bakalan tak mampu menaklukan jalan yang banyak berlobang menganga.Ya, kita harus naik motor trail atau motor laki-laki yang sudah dimodifikasi dan jangan lupa gunakan sepatu booth agar cipratan air dari kubangan di jalanan tidak mengotori kita. Perlu waktu sekitar dua jam perjalanan dari Merauke untuk menjangkaunya. Seru kan?

Eh, tapi perjalanan ini aku lakukan dua tahun yang lalu. Jadi semoga sekarang jalannya sudah diperbaiki dan jembatan yang waktu itu mangkrak sudah selesai dikerjakan sehingga transportasi menjadi mudah dan tidak membuat orang sengsara.

Kelelahan selama perjalanan terbayar begitu terlihat gugusan rumah semut seperti candi tersebar di tanah lapang. Yang paling tinggi ukurannya kira-kira empat meter, menjulang hampir menyentuh kabel listrik yang di atasnya. Rumah semut ini bentuknya berlubang-lubang kecil seperti rumah rayap. Entah bagaimana caranya dan berapa lama binatang kecil berwarna coklat kemerahan dan berukuran lebih kecil dari semut rangrang ini membuat tempat berlindungnya.

Ah, Papua... Pesonamu memang tiada habisnya.


Antri menyeberang sungai

Motor bebekpun terperosok di jalan rusak

Gugusan rumah semut

Dari dekat berlobang-lobang seperti rumah rayap

Rumah Semut di Perbatasan Sota sudah patah puncaknya

Senin, 03 Desember 2012

Menikmati Pesona Jayapura

Jayapura dari Menara tvri

Papua memang terkenal dengan keindahan alamnya, tak terkecuali Jayapura. Ibu kota Papua Timur ini menyimpan sejuta pesona. Saat masih di angkasa saja, menjelang mendarat di Bandara, mata sudah dimanjakan dengan pemandangan cantik Danau Sentani yang serasa menyapa kita. Danaunya yang terhampar luas itu dihiasi dengan pulau-pulau kecil di tengahnya. Bukit-bukit berderet mengelilingi bak benteng yang menjaga agar air danau tidak tumpah terbuang dengan percuma. Uniknya, di perbukitan itu pohon tumbuh tidak merata. Di satu sisi pepohonan menghijau dengan lebatnya, di sisi lain tampak gundul hanya ditumbuhi rerumputan semata. Hingga roda pesawat menyentuh landasan, pemandangnan yang dasyat ini membuatku tak ingin memalingkan muka dari jendela sambil jeprat-jepret menekan tombol kamera.

Dari Bandara Sentani menuju kota Jayapura, hanya ada satu jalan yang menghubungkannya dan akan menjadikan satu keasyikan tersendiri bagi kita. Jangan lupa arahkan pandangan ke sebelah kanan, karena Danau Sentani akan dapat kita nikmati dari jarak dekat. Selain danau, bukit di kanan kiri jalan dan birunya langit yang dihiasi awan putih akan menjadi pemandangan yang sulit untuk dilupakan. Rasanya dengan menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan saja, sudah bagaikan melakukan rekreasi rasanya.

Nah, tempat yang wajib dikunjungi saat ke Jayapura adalah Jayapura City. Sebuah tempat di puncak bukit yang juga terkenal sebagai Menara TVRI, karena di tempat ini terdapat pemancar milik TV berplat merah tersebut. Saat ini sudah hampir semua stasiun TV meletakkan pemancarnya di sini. Di tempat ini terdapat tulisan “Jayapura City” yang sangat besar dan kita dapat melihat kota Jayapura dan bukit yang ada di sekitarnya dari atas. Kota yang terletak di pinggir teluk ini bisa terlihat semua bagiannya dengan jelas. Laut Pasifik yang lepas juga bisa kita nikmati keindahannya. Saat aku kesini bertepatan dengan datangnya sang senja, sehingga kerlap-kerlip lampu kota menambah semarak suasana. Untuk mendapatkan gambar yang bagus, kita harus meniti penyangga tulisan raksasa sehingga diperlukan kehati-hatian dan menjaga keseimbangan dengan seksama. Bagi yang takut ketinggian, disarankan agar tidak mencoba melakukannya.

Turun dari kota sangat disarankan dilakukan pada pagi hari, karena kita dapat melihat sunrise dari Teluk Yotefa yang juga terletak di pinggir jalan raya.  Meskipun aku sampai sini sudah jam 6.30 dimana matahari sudah terlihat tinggi, tapi pemandangannya tetap tak kalah indah. Jangan lupa mampir ke Pasar Induk yang tak jauh dari teluk ini untuk sekedar membeli buah tangan berupa ikan asar (asap). Biasanya ikan yang diasap selama berjam-jam ini berupa ikan cakalang atau ekor kuning yang besar-besar dengan kisaran harga antara 25rb hingga 60rb per ekor tergantung pada besar kecil ukurannya.

Kuliner yang banyak ditemui apalagi kalau bukan ikan? Dan ternyata ikan mujair dan bandeng yang justru  banyak ditemukan di warung makan ataupun restoran. Aku agak kaget karena harga bandeng per porsi mencapai 45rb, sudah termasuk sayur lodeh dan sambel kacang sebagai cocolan. Sementara ikan mujair rata-rata dihargai 60rb per porsi. Lumayan mahal memang. Maka siapkan merogoh kocek lebih dalam, karena harga-harga di sini sepertinya dua kali lipatnya Jakarta. Ada juga buah khas bernama Matoa yang isinya seperti rambutan tapi ada aroma duriannya , tapi sayang pas lagi bukan musimnya, jadi akupun tak bisa menikmati rasanya.

Jika di daerah lain ada musim hujan dan kemarau, maka seperti halnya di Timika, di Jayapura juga tidak mengenal musim. Cuaca bisa berubah sangat cepat dan hujan bisa turun kapan saja semaunya. Pada saat matahari memancarkan sinarnya, maka panas yang ditimbulkan akan sangat terik dan menyengat hingga mata dibuat silau karenanya. Mungkin panasnya bisa dua kali lipatnya Jakarta.

Penginapan harganya malah tidak terlalu mahal. Aku bisa dapat hotel yang bersih, aman dan nyaman cukup dengan 270rb saja. Namanya Hotel Kartini yang letaknya persis di samping Markas Polisi. Sedangkan untuk penerbangan dari Jakarta ke Jayapura memakan waktu lebih kurang 6 jam dengan harga tiket mulai dari 1,5juta.

Meskipun mata kita sangat dimanjakan dengan panorama yang tak terkira, bagi para wanita tetaplah anda waspada. Karena peredaran minuman keras lebih leluasa, maka hal ini juga berdampak pada tingkat keamanan dan kriminalitasnya. Jadi disarankan apabila malam telah tiba, akan lebih baik jika berdiam diri di kamar saja. J

Ayo ke Papua..!

Danau Sentani dari ketinggian


Kota Abepura


Menikmati Jayapura dari Menara tvri. Perlu keseimbangan prima

Sapa pagi dari Teluk Yotefa


Pedagang ikan asar di Pasar Induk Yotefa


Danau Sentani dari dekat


Awan di atas Papua. Rosaaa..!

Sabtu, 01 Desember 2012

Akhirnya Aku Sampai Di Timika

Bandara Mozes Kilangin

Siang hari yang cerah, menjelang pesawat mendarat, ku tengok keluar jendela pesawat. Tampak terhampar hutan hijau nan lebat di bawah sana laksana karpet raksasa. Apalagi saat terlihat sungai yang berkelok-kelok seperti ular yang melata di rerumputan, saya berasa tengah melihat sungai Amazon. Ya, aku telah sampai ke Papua yang sebenarnya. Tidak seperti waktu ke Merauke, menjelang pendaratan ternyata yag terlihat adalah pantai dan rawa-rawa.

Setelah melalui perjalanan selama 6,5 jam dari Jakarta, tepat jam 13.30 WIT pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Mozes Kilangin sesuai rencana. Nama Bandara ini diambilkan dari nama seorang tokoh yang disegani yang berasal dari Suku Amungme. Patung tokoh ini diabadikan juga di gerbang masuk Bandara.

Suasana Bandara sangat kental dengan nuansa pertambangan. Maklum saja, disinilah PT. Freeport melakukan eksplorasi tembaga dan emas, yang konon kabarnya emas di sini mempunyai kualitas  nomer satu di dunia. 

Keluar dari Bandara kita disambut papan nama yang terbuat dari ban dump truck yang sangat besar, hingga terbayang betapa besar truck nya. Terlihat ada 22 bendera berbagai negara yang ikut membangun Bandara ini. Di area parkir terdapat bis karyawan Freeport berwarna oranye untuk menuju lokasi tambang yang sudah dilindungi plat baja anti peluru. Sepertinya ini adalah satu-satunya bis anti peluru di Indonesia.

Meskipun dikelilingi oleh hutan belantara, pegunungan dan tak jauh dari pantai, Timika bukanlah tempat wisata. Belum ada investor yang menggarap kawasan hutan dan pegunungan ini untuk dijadikan kawasan wisata yang mempesona. Pantainya juga berawa-rawa sehingga kurang menarik untuk dikunjungi sebagai sarana pencuci mata.

Tapi makanan lautnya yang nikmat, bisa menjadi alternatif wisata kuliner. Sepertinya halnya di Jawa, warung tenda sea food banyak bertebaran di sepanjang jalan. Sebenarnya  ke Timika belum lengkap rasanya kalau belum menikmati karaka atau kepiting yang besar dan tentu enak rasanya. Sayangnya aku tak sempat menikmatinya karena saat itu kepiting sedang tidak musimnya. Hiks.. Tak apalah, toh cumi, kepala kakap dan udang bisa menjadi penggantinya. Rasanya gurih, manis, walaupun tanpa bumbu yang mlekoh. Siapkan uang lebih ya, karena harga makanan di sini cukup mahal, kira-kira dua kali lipat harga di Jakarta.

Udara di ibukota Kabupaten Mimika ini sangatlah segar dan bebas polusi. Dan anehnya di sini tak ada musim. Hujan bisa turun kapan saja sepanjang tahun dan cuaca bisa berubah dengan sangat cepat. Setelah panas terik yang menyengat kulit, bisa saja tiba-tiba langsung turun hujan dengan lebatnya. Tak heran nyamuk malaria menjadi momok tersendiri bagi sebagian orang yang mau datang ke Papua.

Di pasar aku bertemu dengan seorang wanita yang duduk lesehan berpanas-panasan sambil membuat noken, tas khas Papua yang cara memakainya talinya diletakkan di atas kepala. Di keningnya terikat dedaunan yang ternyata setelah aku tanya itu adalah obat demam karena dia terkena malaria. Belakangan aku baru tahu dedaunan itu bernama ‘daun gatal’. Konon katanya bisa menyembuhkan penyakit apa saja, asal tahan saja sama rasa gatal yang ditimbulkannya.

Secara umum kota Timika yang bisa dijangkau dalam waktu 15 menit dari Bandara ini aman, tidak seperti yang diberitakan di media massa yang isinya penuh horor yang mencekam sehingga orang jadi takut dibuatnya. Jalanannya lebar dan mulus, di kanan kiri jalan banyak pedagang kaki lima yang jual gorengan, buah-buahan, martabak, warung tenda, dll. Tak beda seperti di Jawa saja rasanya.

Penduduk asli dan pendatang dari seluruh Indonesia berbaur dengan sewajarnya. Tak ada rasa benci dan bermusuhan. Kalaupun ada kerusuhan ya itu wajar saja. Bukankah di semua tempat juga begitu? Di Jakarta saja banyak penjahat yang membunuh korbannya, demikian juga di tempat lain ada juga polisi yang meninggal karena ditembak oleh perusuh. Kalaupun ada keributan, biasanya itu adalah konflik internal antar suku dan malah ada aturannya.

Ada satu wilayah khusus bernama Kuala Kencana. Ini adalah kota eksklusif milih PT. Freeport Indonesia. Mungkin kalau di Jakarta namanya kota mandiri seperti halnya BSD. Semua fasilitas lengkap tersedia mulai dari sekolah, Rumah Sakit, tempat belanja dan sarana hiburan ada di sini. Kawasan industri dan perkantoran yang terkait dengan pertambangan juga berada di sini. Dari kota Timika, tempat ini dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.

Untuk transportasi lokal, meskipun ada angkot yang berwarna kuning, tapi trayeknya tidak jelas, tergantung pada jumlah penumpang terbanyak saja. Jadi kalau ke sini lebih baik sewa kendaraan atau naik ojeg yang banyak mangkal. Tarif dekat hanya Rp 5 ribu. Penginapan yang layak bervariasi antara 350 hingga700 rb. Aku dapat di Hotel Intsia di depan Pengadilan Negeri yang kamarnya bersih dan cukup luas dengan rate Rp 350 ribu saja dan sudah dapat sarapan pagi dan snack sore.

Penerbangan komersial dari Jakarta dilayani oleh Merpati yang berangkat jam 5 pagi dan Garuda yang berangkat malam hari dan tiba keesokan harinya dengan harga tiket mulai dari Rp 2 jutaan sekali jalan.

Meskipun tak ada lokasi wisata dan cuma dua hari di sana, tapi aku tetap terkesan dengan Timika.

Kelokan sungai di tengah hutan

Kamar hotel 350rb semalam

Wanita pembuat noken terkena malaria

Geliat pembangunan 

Bis anti peluru di parkiran Bandara

Sabtu, 24 November 2012

Wow, Jalan-jalan Ke Kuala Lumpur Cuma Perlu Rp 1.500.000..!

Awalnya saya tidak merencanakan akan liburan ke ibu kota negara Malaysia ini. Tapi saat ada promo tiket pesawat murah dari maskapai yang sering memberikan diskon besar-besaran, akhirnya saya iseng ikut hunting tiket. Ketika saya lihat masih ada kursi kosong Jakarta-Kuala Lumpur untuk keberangkatan di akhir Mei 2012 dengan harga Rp 335.000 pp dan sudah termasuk bis bandara (sky bus) ke KL Sentral pp senilai Rp 60.000, mata saya langsung berbinar-binar. Tak masalah walaupun saya harus membelinya lebih dari 6 bulan sebelumnya.

Selama 3 hari 3 malam saya menjelajah KL dan sekitarnya dengan total biaya hanya sekitar Rp 1,5 juta saja. Bagaimana bisa? Ya bisa lah, asal kita rencanakan jauh hari sebelumnya  sehingga bisa mendapatkan tiket pesawat dan penginapan murah serta menyusun itinerary lokasi wisata mana saja yang akan kita kunjungi.

Tak perlu khawatir dengan transportasi, karena dari ujung ke ujung alat transportasi di sana banyak tersedia dan tentunya nyaman serta nyaman, walaupun bagi seorang perempuan yang pergi backpackeran sendirian seperti saya ini. Di sana tersedia MRT, monorail dan bis yang semuanya ber AC dan waktu keberangkatannya selalu on time.

Sekarang mari kita kalkulasi biayanya. Kurs saat itu RM1 = Rp 2.600. Untuk tiket pesawat Jakarta-KL pp dan bis bandara di KL pp Rp 335.000, beli bagasi pulang Rp 80.000. Penginapan di hotel backpacker, seperti asrama tapi tetap ada kamarnya berbentuk kapsul yang unik, karena untuk memasukinya kita harus merangkak J (UFO Capsule Hotel dekat Stasiun monorail Imbi) selama 3 malam Rp 300.000, tiket masuk ke Petronas Twin Tower Rp 200.000, makan selama 3 hari Rp 300.000 (makanan di sana murah, bahkan kalau kita mau blusukan, harganya lebih murah dibandingkan di Jakarta. Nasi lemak plus teh tarik cuma Rp 8.000, air mineral 1,2 lt hanya Rp 4.000. Untuk oleh-oleh (10 kaos, coklat dan 2 lusin gantungan kunci) Rp 400.000. Sementara untuk transport lokal ke lokasi wisata KLCC (Twin Tower), Bukit Bintang, Batu Caves, Putra Jaya dan Petaling (China Town) saya memilih menggunakan naik angkutan umum (LRT, monorail, bis dan KLIA transit) total Rp 85.000.

Nah, sekarang siapa bilang liburan ke luar negeri itu mahal dan harus nunggu kaya dulu?

Bandara KLCC
KL Sentral, terminal terpadu

Mesin pembelian tiket, tak perlu antri di loket

Suasana di dalam LRT. Nyaman dan aman
 
Monorail

Nasi lemak dan teh tarik, cuma Rp 8.000

Penginapan. Kamarnya seperti kapsul, Rp 100rb per malam

Kamis, 15 November 2012

Asa Dari Bumi Sumbawa


Seperti kita ketahui, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah peternakan di Indonesia dimana sebagian besar kebutuhan daging sapi didatangkan dari sini. Hampir di setiap rumah pasti memelihara sapi, baik milik sendiri maupun memelihara milik orang lain dengan sistem bagi hasil atas anak sapi yang dilahirkan.

Bersama pendamping dan peternak Bima
Meskipun demikian, tingkat penghasilan penduduknya belumlah dapat dikatakan sejahtera. Terbukti banyak dari mereka baik laki-laki maupun peremuan yang memilih untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di bidang informal, yaitu sebagai pembantu rumah tangga maupun berkerja di perkebunan. Negara favorit yang menjadi tujuan mereka adalah Timur Tengah dan Malaysia.

Mengingat potensi yang besar namun belum tergarap dengan optimal, pada bulan Agustus 2009, Dompet Dhuafa menurunkan program pembinaan dan pendampingan atas dua puluh enam peternak Sapi Bali yang tersebar di Kecamatan Lambu, Woha dan Monta dengan jumlah dana yang disalurkan total sebesar Rp 562.900.000 (Lima ratus enam puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) yang diberikan secara bertahap hingga akhir tahun 2011.

Bisa dikatakan ini merupakan titik balik kehidupan bagi para peternak, karena selama ini para mereka memelihara sapi dengan cara digembalakan di gunung, di kebun maupun di ladang. Secara perlahan, setelah diberikan pelatihan dan pendampingan seputar pemeliharaan ternak, maka secara bertahap mereka mulai melakukan pengandangan ternak.

Keuntungan yang mereka peroleh, setelah ternak dikandangkan, hasilnya menjadi lebih gemuk karena terjamin makanannya, tidak mudah terkena penyakit dan kotorannya mudah dikumpulkan  untuk kemudian dijadikan kompos. Meskipun kondisi alam di Bima adalah berbukit kapur yang akan menjadi gersang pada musim kemarau, akan tetapi di tiap lembahnya tetap terlihat subur karena masih banyak terdapat sumber air. Dengan demikian potensi hasil pertanian juga cukup menjanjikan.

Selain padi, bawang merah, jagung maupun kacang tanah merupakan beberapa komoditi pertanian yang mudah kita temukan di persawahan di sepanjang jalan. Sayangnya karena distribusi pemasaran yang belum tertata dengan baik, menyebabkan harga produk pertanian ini sangat rendah sehingga tidak dapat mengangkat penghasilan petani. Bayangkan  sekilo bawang merah hanya dihargai Rp 2.500 oleh para tengkulak. Menyedihkan sekali.

Saat kami berbincang dengan para peternak penerima manfaat, dengan antusias mereka bercerita bahwa selain mendapatkan ilmu dan ketrampilan beternak dengan benar, ketrampilan seputar kewirausahaan, pembuatan kompos, pembuatan makanan ternak, dan juga pengetahuan tentang pentingnya berorganisasi dengan membentuk kelompok juga mereka terima.

Satu hal yang sangat berkesan bagi mereka adalah untuk pertama kalinya warga akhirnya dapat merasakan daging kurban. Program Tebar Hewan Kurban (THK) yang dijalankan Dompet Dhuafa tak disangka sampai juga di daerah mereka yang terpencil jauh dari keramaian kota. Bagi mereka, daging kambing adalah makanan yang sangat mewah karena hanya dirasakan pada saat Idul Adha atau saat ada hajatan.

Ya, program THK memang berusaha untuk menyalurkan kurban dari para donatur agar dapat merata hingga pelosok Nusantara. Ucapan terima kasih yang tulus mereka sampaikan kepada para donatur Dompet Dhuafa sehingga para peternak dapat meningkat penghasilannya. Semoga semua potensi sumber daya di sini berupa pembuatan garam, sektor perikanan yang melimpah, juga dapat segera tergali dan bermanfaat sepenuhnya bagi anak negeri. Aamiin.


Bima nan gersang

Ladang penggembalaan sapi


Rabu, 14 November 2012

Menikmati Sunset di Pantai Tanjung Tinggi

Masih ingat dengan film Laskar Pelangi yang tersohor itu? Salah satu lokasi shooting yang digunakan adalah Pantai Tanjung Tinggi yang terletak di barat daya pulau Belitung. Cukup dengan 15 menit menyusuri jalanan beraspal nan mulus dari kota Tanjung Pandan ke arah utara, kita sudah bisa sampai di tempat yang sangat eksotis ini.

Usai menyelesaikan tugas kantor di Pulau Buku Limau dan Simpang Pesak, saya langsung meluncur kembali ke Tanjung Pandan dan tentunya mampir dulu ke pantai yang merupakan salah satu icon pariwisata Belitung ini. Kedatangan saya di sore itu disambut oleh rintik-rintik hujan. Ya, karena sudah memasuki bulan November, hampir tiap hari Belitung disiram air hujan. 

Begitu memasuki lokasi pantai, kita akan disambut dengan batu-batu raksasa sebesar rumah yang seakan menjadi benteng pelindung. Entah dari mana datangnya batu-batu itu, mengingat di pulau ini tidak terdapat gunung berapi yang aktif.

Sambil menunggu hujan reda, saya mampir ke warung yang letaknya tak jauh dari tempat parkir. Kali ini saya kembali menemukan peristiwa unik, setelah peristiwa sakit gigi di tengah laut yang bisa dilihat di sini

Saat tengah minum, ada bapak-bapak yang menghampiri dan menawarkan untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan di bagian belakang warungnya. Dia mengatakan kalau hari itu keluarganya sedang hajatan dan kami dipersilahkan untuk ikut bergabung. Berhubung memang tidak lapar, dengan halus saya coba menolak. Tapi tiba-tiba teman saya yang asli Belitung bilang bahwa adat di sini apabila ada orang menawarkan makanan, maka wajib memenuhinya walaupun cuma sedulit. Istilahnya bernama Kempunan. Kalau tidak, mereka akan sangat tersinggung dengan penolakan kita. Akhirnya saya mencicipi hidangan untuk menghormati bapak pemilik warung dan ternyata ada menu khas bernama "gangan", yaitu masakan daging berkuah kuning dengan rasa kari yang kuat. Lumayan enak juga, apalagi gratis.. hehehe.. 

Setelah lebih kurang lebih setengah jam menunggu, akhirnya hujan berhenti dan sang mentari langsung menampakkan diri. Alhamdulillah.. Bergegas kami menuju ke pantai yang terletak di balik bebatuan besar. Saya berasa tengah bermain labirin  diantara batu-batu yang berkelok-kelok. Violaaa..! Di depan mata terhampar pantai berpasir putih bersih dengan air laut berwarna biru kehijauan dan dihiasi batu-batu besar yang berserakan. 

Tak puas memandangi laut dari tepinya, saya mencoba naik ke bebatuan raksasa itu. Dengan susah payah saya melompat, merayap untuk mencapai puncaknya. Maklum karena barusan hujan, bebatuan itu jadi licin dan faktor "U" juga membuat badan ini menjadi tak lincah lagi. hehe.. Dan ternyata pemandangan dari atas terlihat makin mempesona. Saya sebelumnya juga pernah menemui panorama yang sama saat ke pulau Natuna, tapi tetap saja rasa kagum akan ciptaanNya tak bisa saya sembunyikan. 

Turun dari bebatuan, saya menuju ke sudut pantai yang lain untuk menyongsong momen tenggelamnya sang surya. Meski tak sempurna, karena awan mendung sebagian masih terlihat di angkasa, detik-detik itu terasa sayang untuk dilewatkan begitu saja. Ah, Belitung. Sepertinya pulau ini diciptakan sebagai salah satu surga dunia.

"Monumen" Laskar Pelangi di pintu masuk

Batu-batu besar berserakan di sepanjang pantai

Airnya bening menyegarkan

Menikmati pemandangan dari atas bebatuan

Pemandangan dari sisi yang lain


Sabtu, 03 November 2012

Pulau Mendanau Nan Memukau


Dermaga Tanjung Nyato, Selat Nasik
Sejak film Laskar Pelangi diputar pada tahun 2008 yang lalu, nama Belitung ikut terangkat ke permukaan sehingga banyak orang ingin mengunjungi pulau yang terkenal dengan pantai-pantainya yang cantik dihiasi batu-batu besar dan berpasir putih.

Alhamdulillah pada akhir Oktober 2012 selama 4 hari, saya berkesempatan mengunjungi pulau yang merupakan bagian dari Propinsi Bangka-Belitung untuk melakukan audit program pengiriman lima guru Dompet Dhuafa yang tersebar di empat pulau, yaitu : Belitung, Mendanau, Seliu dan Buku Limau.

Perjalanan saya di Selasa pagi 30 Oktober 2012 berjalan dengan lancar. Saya memang lebih suka mengambil penerbangan paling pagi karena kemungkinan delay kecil dan lalu lintas Jakarta masih lancar sehingga tidak dipusingkan dengan kemacetan. Pesawat berangkat jam 6 sesuai jadual dan mendarat di Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan sejam setelahnya. Dalam sehari ada 6 kali penerbangan dari Jakarta, sehingga kita bisa leluasa dalam memilih waktunya. 

Menjelang pendaratan saya melongok ke jendela. Bukan pemandangan cantik yang saya lihat, tapi lobang-lobang besar bekas tambang timah yang tak ditutup kembali sehingga terlihat seperti boncelan-boncelan wajah yang terkena penyakit cacar.

Tak lama menunggu di pintu kedatangan, Mbak Rini - guru Dompet Dhuafa yang bertugas di SD Muhammadiyah menjemput saya dengan motor sewaan seharga Rp 30.000 per 12 jam. Di Tanjung Pandan ini tidak ada angkutan umum, jadi saya harus menyewa kendaraan. Kalau sewa mobil, tarifnya sekitar Rp 500.000 per hari sudah termasuk sopir dan bensinnya. 

Setelah menyimpan tas di asrama sekolah, kami berdua langsung menuju ke lokasi program di Selat Nasik, Pulau Mendanau yang terletak di sebelah barat pulau Belitung. Pertama-kama kami harus menempuh jalan darat selama 45 menit. Perjalanannya terasa jauh buat saya karena jalanan di sini sangat mulus dan sepi sehingga berasa tak sampai-sampai jua. Meski begitu pemandangan pantai di kanan jalan yang indah menjadikan nya menjadi menyenangkan.

Akhirnya sampai juga kami di Dermaga Pegantongan untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu. Sayang sekali perahu baru saja berangkat sehingga kami harus menunggu perahu berikutnya. Setelah 15 belas menit menunggu, yang dinanti datang juga. Bergegas kami naik ke perahu berikut motor yang kami tumpangi. Tarif yang kami bayar semuanya Rp 45.000 sekali jalan. Motor dihitung seperti halnya penumpang.

Sengaja saya memilih keluar dari tempat duduk penumpang menuju ke atas untuk menikmati indahnya alam sekitar. Pagi itu laut terlihat sangat bening berwarna biru kehijauan, langitnya juga sangat cerah dan sang angin bertiup tak begitu kencang. Benar-benar sempurna, hingga perjalanan selama 40 menit  tak terasa dan kami sudah  sampai di Dermaga Tanjung Nyatoh, Selat Nasik. Turun dari perahu kami harus berhati-hati karena jalan penghubung ke darat sudah rusak dan tak ada pagar di kanan kirinya.

Rimbunnya hutan bakau, kicauan burung dan beningnya air laut menyambut kedatangan kami. Berbeda dengan Pulau Belitung, jalanan di sini masih belum bagus, jadi tak bisa memacu motor dengan kecepatan tinggi. Perlu waktu 20 menit lagi agar kami sampai di tujuan akhir, yaitu SDN 1 Selat Nasik yang terletak di perkampungan nelayan.

Meskipun rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, tapi sebenarnya mereka bukanlah termasuk orang tidak mampu. Penghasilan dari menangkap ikan termasuk besar, apalagi jika yang mereka tangkap adalah teripang yang terkenal mahal. Penduduknya heterogen dari berbagai suku. Selain penduduk asli, pendatang paling banyak berasal dari Bugis yang memang terkenal suka mengarungi samudera dan tersebar di mana-mana. Tadinya ada transmigran dari Jawa sebanyak 50 KK, tapi kabarnya hanya tinggal 5 KK karena air di sini termasuk sulit untuk pertanian. Tak heran saat makan siang saya ketemu tempe goreng. Lauk yang langka ditemui di pulau-pulau yang jauh dari kota.

Saya sarankan apabila mau kesini, datanglah di bulan Februari saat durian tengah berbuah. Ya, pulau ini adalah penghasil durian dimana saat panen harganya bisa hanya Rp 1.000 per biji. Meskipun ukurannya tidak besar, tapi katanya duriannya sangat manis dan wangi. Yah, saya akhirnya hanya bisa membayangkan saja tanpa bisa mencicipinya. Hehe..

Setelah semua pekerjaan selesai ditunaikan, sudah bertemu mbak Uthe – Guru DD yang ditugaskan dan bertemu Kepala Sekolah, buru-buru kami harus kembali menuju Dermaga agar bisa barengan dengan rombongan Inspektorat yang juga akan kembali ke Tanjung Pandan. Tapi sesampai di sana ternyata perahu sudah berangkat. Jadilah kami menyewa seharga Rp 150.000 karena hari sudah sore dan tak ada lagi perahu yang akan menyeberang.  

Bersama kami ikut juga Pak Yanto, guru SDN 1 Selat Nasik yang akan mengikuti pelatihan di kota. Ada peristiwa unik yang cukup menggelikan. Tiba-tiba pak Yanto sakit giginya kambuh saat di atas perahu. Meski sudah minum obat penghilang nyeri, ternyata belum bisa meredakan sakitnya. Akhirnya dia mengambil gelas dan langsung menciduk air laut. Saya kira untuk cuci tangan, ternyata dipakai untuk kumur-kumur. Iya juga ya, kalau di rumah kan kumurnya pakai air garam, di atas perahu ya cukup pakai air laut yang memang sudah asin. Praktis. Hahaha..

Di tengah perjalanan terlihat mendung cukup gelap. Ngeri juga takut kehujanan di tengah laut karena di seberang terlihat beberapa kali kilat membelah angkasa. Syukur Alhamdulillah kami selamat sampai dermaga.  Hujan baru turun dengan derasnya setelah kami menginjakkan kaki di daratan. Breeees...! dingiiiin...

Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan
Lubang menganga bekas tambang timah
Jalanan menuju Dermaga Pegantongan beraspal mulus dan sepi dengan bonus pemandangan pantai  yang cantik
Menikmati pemandangan
Hutan bakau nan hijau tempat para burung berkicau
Rumah Nelayan
Jalanan di pulau. Di hutan sepanjang jalan inilah pepohonan durian tumbuh dengan suburnya

Rabu, 19 September 2012

Belajar Dari Keteguhan Munawir, Guru di Pelosok Sumbawa


Mengajar membaca langsung di Perpustakaan
Pagi hari yang cerah, saya menyusuri Jalan Lintas Pantai Lakey yang terkenal sebagai surga para peselancar dari mancanegara, karena kabarnya memiliki ombak terbaik di dunia selain Mentawai, Sumbar dan Nemberala di Pulau Rote.
Sepanjang perjalanan yang terlihat adalah birunya laut, kemilaunya pasirnya yang putih dan deburan ombak yang bergemuruh memecah karang. Sangat eksotis dan kontras dengan pemandangan di sekitarnya di mana pohon dan tanahnya tampak kecoklatan karena tak mampu menahan terik dan keringnya puncak musim kemarau di bulan September ini.
Tujuan saya kali ini adalah bersilaturahim dengan Guru Dompet Dhuafa (DD) yang ditugaskan di daerah terpencil ujung selatan Kabupaten Dompu yang terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya di SDN 09 Nangadoro, Kecamatan Hu’u.
Jam 8 pagi saya sampai di sekolah yang terletak persis di tepi pantai. Dua orang guru menyambut kedatangan kami, salah satunya adalah Munawir, peserta Sekolah Guru Ekselensia Dompet Dhuafa yang tengah menjalani masa tugas. Ia telah lima bulan mengajar di sini. “Maaf Bu, baru ada dua guru yang datang. Beginilah kondisinya sehari-hari, para guru sulit diharapkan kehadirannya mengingat lokasinya yang terpencil jauh dari kota,” katanya dengan senyum mengembang.
Saya lihat sebagian siswa masih bermain-main di lapangan, sementara sebagian lainnya sudah ada di ruang kelas siap untuk belajar. “Jumlah siswa di sini hanya 70 anak, dan karena minimnya guru maka kelasnya digabung. Kelas 1 dan 2 jadi satu kelas, begitu juga kelas lainnya. Padahal sebenarnya jumlah guru sudah cukup, semuanya ada 12 guru,” tambah pemuda asal Sulawesi Selatan ini.
Tak heran jika tingkat kehadiran siswa juga rendah. “Sering kali kami harus menjemput anak-anak ke rumahnya agar mereka mau datang ke sekolah. Maklum kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak juga belum bisa diharapkan. Di saat istirahat, siswa banyak yang pulang dan tidak kembali lagi,” ceritanya.
Saat saya masuk ke kelas 6, siswa tengah belajar membaca. Ya, ternyata hingga menjelang lulus, mereka masih banyak yang belum bisa membaca dengan lancar. Miris sekali saya melihatnya. Saya bandingkan kondisinya dengan sekolah anak saya yang sangat jauh berbeda. Di sekolah ini masih banyak yang ke sekolah memakai sendal jepit dan tanpa memakai seragam.
Tinggal di daerah terpencil yang tidak ada sarana air bersih, sinyal telepon terbatas, dan sulit mendapatkan bahan makanan, tak menyurutkan niat alumni Universitas Negeri Makassar ini untuk mengabdi menebarkan “virus” sebagai guru model. Pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan dia coba terapkan agar kualitas pendidikan bisa meningkat.
“Meskipun di sini serba sulit, saya siap kalau misalnya masa tugas saya diperpanjang. Saya ingin mendampingi anak-anak hingga mereka bisa mengejar ketertinggalannya,” tukas Munawir dengan mantap.
Saya sangat salut dan merasa harus belajar dari tekad Munawir yang memiliki tekad kuat untuk memajukan pendidikan anak-anak kita di pedalaman Dompu, Nusa Tenggara Barat. Meski hidup dalam keterbatasan, ia tetap bertahan demi majunya calon tunas bangsa.

Bersendal jepit ke sekolah sudah biasa

Siswa bermain di lapangan

Sekolah terletak persis di bibir pantai

Jumat, 06 Juli 2012

Pulau Lanjukang Kini Mulai Berkembang

Jalan di perkampungan

Mungkin sebagian dari kita belum pernah mengenal bahkan mendengar nama pulau kecil seluas 2,5 Ha yang merupakan pulau terluar di Sulawesi Selatan ini. Meskipun masih merupakan bagian dari Kotamadya Makassar, tapi karena untuk menuju kesana dibutuhkan waktu antara 2-3 jam perjalanan dengan perahu motor serta tidak adanya sarana angkutan umum, menjadikan pulau ini terpencil dari hiruk pikuk kehidupan manusia.


Awalnya tak ada fasilitas berarti di tempat yang hanya berpenduduk 13 KK atau 43 jiwa ini selain jalan conblock yang menghubungkan pantai dengan rumah warga, sehingga mereka harus menerima kondisi apa adanya dengan segala keterbatasan. Puskesmas keliling hanya datang 3-4 bulan sekali sehingga praktis jika ada yang akan melahirkan  harus bertolak ke kota. Paling tidak si ibu hamil ini akan tinggal di kota minimal selama satu bulan di rumah saudaranya. Begitu juga jika ada yang sakit, maka Puskesmas terdekat yang harus dituju ada di Pulau Lumbu-Lumbu yang ditempuh selama satu jam berperahu.

Saat kami datang untuk shooting film dokumenter, pagi itu cuaca sedang tidak bersahabat karena sudah dua hari angin bertiup kencang sehingga semua penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tidak bisa melaut. Kami juga merasakan saat  hampir sampai di pulau, ombak memang terlihat tinggi sekitar 1-2 meteran. Di saat libur melaut, mereka pergunakan waktu dengan bermain sepak bola bersama. Ada yang unik di sini, yaitu sebagian warganya sekitar 20 persen bertubuh mini. Anak-anakpun juga mengalami kebotakan dini sejak berumur lima tahunan. Entahlah apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi.

Setahun yang lalu Dompet Dhuafa memberikan penghargaan sebagai “Kampung Inspiratif” karena mereka mampu memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup secara mandiri. Karena tak ada sekolah, seorang warga yang hanya lulusan Sekolah Dasar akhirnya menjadi guru bagi anak-anak. Bagi mereka cukuplah asal bisa membaca dan menulis saja meskipun sebenarnya ada keinginan untuk mempunyai ijazah formal.

Ketika air bersih susah didapatkan, mereka menampung air hujan untuk memasak. Jika telah tiba musim kemarau, mau tak mau harus membelinya dari Makassar. Biasanya seminggu sekali mereka berbelanja dengan biaya perjalanan sekitar Rp 100.000. Saat ingin buang air besar, maka lautlah yang menjadi tujuannya.

Saat itu Dompet Dhuafa memberikan bantuan berupa jala untuk semua Kepala Keluarga, sebuah perahu nelayan, membangunkan WC dan memberikan dua buah penampungan air hujan. Alhamdulillah ternyata setelah itu menyusul ada beberapa bantuan yang datang. Dua bulan yang lalu mereka menerima bantuan berupa solar cell di tiap rumah yang cukup untuk menghidupkan dua lampu dari salah satu LSM. Kampung yang dulunya hanya berpenerangan pelita, sekarang terlihat hidup dan berwarna. Selain itu juga ada bantuan dua ratus terumbu karang dari Dinas Kelautan yang bekerjasama dengan salah satu LSM yang berbeda. Warga berharap jika terumbu karang telah tumbuh dan ikan-ikan hidup di dalamnya, maka pariwisata bahari akan berkembang dan mereka akan ikut merasakan dampaknya.

Foto-foto lainnya
Main bola di laut
Perahu nelayan bersandar di pantai

Perjalanan menyeberang ke pulau
Rumah warga
Melepas lelah setelah shooting