Rabu, 06 Maret 2013

Enam Hal Unik Yang Bisa Ditemukan di Merauke

Kota Merauke

Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sepotong lagu wajib yang sering aku nyanyikan saat sekolah dulu, saat ini masih bisa kuhafal dengan lancar.

Merauke. Nama daerah yang populer ini yang tadinya cuma kukenal lewat lagu, peta dan berita, akhirnya aku datangi juga. Suatu daerah yang terasa asing yang merupakan salah satu batas negara di timur Indonesia karena berbatasan langsung  dengan Papua Nugini ini ternyata mempunyai beberapa keunikan yang mungkin tidak kita termukan di daerah lain. Apa sajakah itu? Mari kita simak satu-persatu.

1. Rumah semut raksasa
Jika yang selama ini orang mengenal sarang semut yang berbentuk seperti umbi berlubang seperti labirin dan banyak dipergunakan sebagai obat herbal penyembuh berbagai macam penyakit, ternyata di Merauke ada juga rumah semut. Sebenarnya ini adalah rumah semut yang bentuknya seperti rumah rayap, hanya saja yang istimewa, rumahnya berukuran raksasa. Bagaimana tidak, ukurannya menjulang ada yang sampai 3 meter. Entah bagaimana caranya si makhluk kecil ini membangunnya. Rumah semut berukuran lebih kecil dapat kita temui di sepanjang jalan menuju Sota (perbatasan Papua Nugini). Sedangkan yang berukuran raksasa ada di Taman Sota, hanya saja sudah terlihat rusak. Jika ingin melihat yang masih alami, adanya di Distrik Salor, sekitar 2 jam perjalanan dari kota Merauke dengan sepeda motor. Tidak disarankan naik mobil karena jalannya rusak parah, kecuali mobil yang digunakan adalah double gardan. Itupun hanya bisa dilakukan setengah perjalanan saja karena ada sungai tanpa jembatan yang menghalangi sehingga di seberang sungai kita harus berganti kendaraan lain. Tulisan tentang rumah semut bisa juga ditemui disini.

Rumah Semut raksasa di Distrik Salor


2. Toko-toko punya jam istirahat
Jika pada umumnya toko buka non stop mulai pagi hingga sore/malam, maka di kota Merauke punya jam istirahat. Jam 14.00 hampir semua toko akan tutup dan baru buka kembali pada jam 17.00, dan akan tutup kembali pada jam 21.00. Mungkin pada jam-jam tersebut tak banyak pembeli yang datang, sehingga para pedagang memilih untuk tidak membuka tokonya.

3. Rusa berkeliaran di jalanan
Populasi rusa di Merauke sangat banyak. Meskipun Papua diselimuti hutan hujan tropis yang lebat, tapi di sana tak ada harimau maupun singa. Binatang penghuni hutan hanyalah sebangsa burung, rusa dan ular. Jadi predator rusa nyaris cuma sedikit, paling hanya buaya dan ular sehingga rusa dapat berkembang biak dengan cepat.  Tak heran jika harga daging rusa di sana lebih murah dibandingkan dengan daging sapi. Sekilo daging rusa hanya Rp 30.000, sedangkan daging sapi bisa mencapai Rp 60.000 (saat itu, tahun 2011). Jadi tak heran jika rusa-rusa ini banyak berkeliaran di jalanan untuk merumput. Kalau kita mau makan bakso dan sate, maka sebagian besar dagingnya pasti daging rusa. Rasanya? Hmmm, empuk, gurih dan tentu saja lezat. Hanya saja bau amisnya lebih terasa dibandingkan daging sapi.

Rusa merumput di jalanan

4. Warung didesain seperti loket
Peredaran minuman keras bisa dikatakan sangat bebas, maka tak heran jika tingkat kriminalitasnya cukup tinggi. Untuk menghindari pencurian, akhirnya warung-warung kecil rumahan dibuat seperti loket penjual karcis. Pintunya selalu terkunci rapat,  jendelanya dilapisi teralis kawat dan untuk transaksi jual beli dibuatkan lobang kecil untuk menyerahkan barang/uang.

Bertransaksi di warung


5. Mencari ikan di halaman rumah
Tadinya aku mengira bahwa Merauke itu dikelilingi oleh hutan yang lebat, eh ternyata adanya di tepi pantai dan kondisi alamnya berawa-rawa. Meskipun demikian, kekayaan alam di sekitarnya tetaplah berlimpah. Di rawa-rawa itu banyak terdapat ikan air tawar seperti Mujair. Jadi anak-anak kecil disana kalau mau makan tinggal turun ke halaman rumah dan menangkap ikan-ikan itu untuk dijadikan lauk. Asyik ya..

Anak Papua mencari ikan di halaman


6. Bahasa Jawa masih menjadi bahasa ibu
Merauke merupakan salah satu tujuan transmigran pada tahun 1970-an. Saat aku berkunjung ke salah satu daerah penerima program beasiswa Dompet Dhuafa di Distrik Kurik, penggunaan bahasa Jawa masih mendarah daging digunakan sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi. Bahkan pembicaraan antara nenek dan cucu, masih memakai bahasa Jawa halus. Wooow..! Meskipun sudah berada di Papua, serasa berada di kampung halaman di Bantul. hehehe..

Ah, jadi pingin ke Merauke lagi jadinya..

Keluarga transmigran dari Jawa