Selasa, 21 Mei 2013

Blusukan Pulau Rote (3) : Hatiku Tertambat di Papela


Senja di Papela
Nama Papela mungkin belum akrab di telinga kita. Meski di daerah ini keindahan alamnya tak kalah dengan Pantai Nembrala yang terletak tak jauh dari ibukota Kabupaten  Rote Ndao yaitu Ba'a, tapi belum banyak wisatawan yang mengenalnya.

Papela adalah salah satu desa kecil yang terletak di sebelah tenggara Ba'a dengan waktu tempuh sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor. Jalanan menuju tempat ini sangat sepi dan beraspal mulus. Saking sepinya, jangan heran jika di sepanjang perjalanan hanya akan bertemu tak sampai 5 mobil.

Separuh perjalanan akan melewati pinggir pantai di selingi ladang berumput tempat penggembalaan sapi, kuda maupun kambing. Jadi perjalanan jauh ini sama sekali tak terasa melelahkan. Karena hewan ternak di sini dilepas begitu saja, maka bukan hal aneh jika di tengah jalan tiba-tiba ada kambing maupun babi yang menyeberang jalan.

Penduduk Papela mayoritas adalah muslim, terdiri dari penduduk asli maupun pendatang yang sebagian besar berasal dari Buton dan bermata pencaharian sebagai nelayan. Sedangkan penduduk asli ada menjadi petani maupun penyadap nira. Jika di daerah lain nira langsung diolah menjadi gula merah, di sini banyak yang dijual sebagai air gula seperti sirup.

Terletak di tepi pantai nan bersih dan berpasir putih dengan garis pantai yang melengkung, kita bisa melihat sunrise sekaligus sunset. Saat pagi hari, sunset bisa dinikmati di Pantai Tanjung maupun dari atas bukit. Ketika sore menjelang, dermaga merupakan tempat yang pas untuk menunggu sunset sembari memancing. Dermaga Papela biasanya digunakan untuk berlabuh saat Pelabuhan Ba'a tidak bisa dioperasikan karena gelombang tinggi di musim angin barat.

Bagi pecinta makanan laut, di sinilah surganya karena ikan-ikan segar yang baru ditangkap dengan mudah kita dapatkan dengan harga yang murah. Seekor ikan cakalang seberat sekitar 4 kg hanya dijual 30 ribu. Waoow..!

Selain panorama pantai, bagi yang menyukai tantangan bisa mengarungi lautan menuju Mulut Seribu. Di sana kita bisa menyusuri jalan laut si antara pulau-pulau yang berkelok-kelok laksana labirin. Makanya tempat ini dinamakan Mulut Seribu. Tak perlu khawatir akan tersesat karena nelayan setempat sudah hafal jalan keluar masuknya.  Tapi kita hanya bisa menuju ke sini pada saat gelombang laut sedang tenang dan bersahabat.

Mengingat belum ada penginapan, disarankan untuk menginap saja di rumah warga. Mereka akan dengan senang hati menerima kehadiran kita. Tapi saya sarankan jangan datang di saat musim kemarau, karena air akan sulit didapat, kecuali jika anda ingin merasakan sensasi mandi dan buang air di sungai. Hehe.. Oh iya, listrik juga tidak tiap saat menyala. Dalam sehari pasti ada waktu-waktu jedanya. Jadi jika ingin gadget kita selalu siap sedia, rajin-rajinlah untuk mengisi baterainya

Ingin mencicipi makanan khas selain ikan laut? Ada cemilan yang bernama susu goreng, yaitu susu yang dipanaskan bersama air gula nira hingga menjadi karamel. Ada juga kacang sembunyi, hampir seperti enting-enting berbentuk gulungan yang biasa ada di Jawa, tapi ada kacang tanah di dalamnya.

Ah, Papela.. Engkau selalu membuatku untuk datang lagi kesana. Menikmati kehidupan sederhana apa adanya, merasakan kesegaran udara, merasakan semilir angin di tengah nyiur yang melambai, bermain air di lautmu yang jernih berwarna biru kehijauan, mencari kerang, melihat bintang laut, makan ikan laut yang segar, bermain dengan perahu nelayan, memancing, bercanda dengan anak-anak pantai.. Rasanya aku telah berada di salah satu surga dunia nan eksotis yang tak akan pernah terlupa.



Ikan Lamadang setinggi orang

Pemandangan dari atas bukit

Bersama penduduk lokal dengan topi khasnya

Ibu-ibu menampung air dari bocoran pipa

Pantai Tanjung

Membantu suami mencari kayu bakar dan mengambil sadapan nira

Nelayan membuat perahu dan dijual seharga Rp 60 juta

Ladang penggembalaan


Bertemu bintang laut

Anak pantaipun pandai bergaya