Senin, 10 Desember 2012

Rumah Semut Raksasa Ini Hanya Ada di Papua

Tingginya hampir menyentuh kabel listrik

Jika selama ini aku hanya tahu sarang semut asal Papua yang  bentuknya seperti umbi dan katanya bermanfaat ampuh sebagai obat berbagai penyakit, ternyata di sana ada sarang semut yang berbeda yang ukurannya luar biasa besar buat ukuran makhluk yang kecil mungil ini.

Aku menemukan rumah semut raksasa ini saat tengah melakukan perjalanan ke ujung timur Indonesia, Merauke. Untuk melihatnya, yang paling mudah adalah dengan menuju ke arah timur, yaitu ke Tugu Perbatasan Sota yang merupakan batas negara dengan Papua Nugini.

Dari kota Merauke, perlu waktu sekitar 45 menit saja atau kira-kira 60 km jaraknya. Di sepanjang perjalanan menyusuri hutan, di kanan kiri jalan rumah-rumah semut berukuran kecil setengah meteran sudah banyak kita jumpai. Tapi yang paling besar ya yang ada di Taman Sota ini yang mempunyai tinggi tiga meteran. Sayangnya rumah semut yang di sini sudah tidak alami lagi dan sepertinya puncaknya sudah patah.

Nah, jika mau lihat yang aslinya, di Distrik Salor tempatnya. Sayangnya lokasi ini sulit ditempuh karena jalannya yang rusak parah dan ditambah harus menyeberangi sungai tanpa jembatan, maka satu-satunya cara yang paling mudah adalah dengan bersepeda motor. Itupun bukan motor biasa, karena motor bebek atau sejenisnya bakalan tak mampu menaklukan jalan yang banyak berlobang menganga.Ya, kita harus naik motor trail atau motor laki-laki yang sudah dimodifikasi dan jangan lupa gunakan sepatu booth agar cipratan air dari kubangan di jalanan tidak mengotori kita. Perlu waktu sekitar dua jam perjalanan dari Merauke untuk menjangkaunya. Seru kan?

Eh, tapi perjalanan ini aku lakukan dua tahun yang lalu. Jadi semoga sekarang jalannya sudah diperbaiki dan jembatan yang waktu itu mangkrak sudah selesai dikerjakan sehingga transportasi menjadi mudah dan tidak membuat orang sengsara.

Kelelahan selama perjalanan terbayar begitu terlihat gugusan rumah semut seperti candi tersebar di tanah lapang. Yang paling tinggi ukurannya kira-kira empat meter, menjulang hampir menyentuh kabel listrik yang di atasnya. Rumah semut ini bentuknya berlubang-lubang kecil seperti rumah rayap. Entah bagaimana caranya dan berapa lama binatang kecil berwarna coklat kemerahan dan berukuran lebih kecil dari semut rangrang ini membuat tempat berlindungnya.

Ah, Papua... Pesonamu memang tiada habisnya.


Antri menyeberang sungai

Motor bebekpun terperosok di jalan rusak

Gugusan rumah semut

Dari dekat berlobang-lobang seperti rumah rayap

Rumah Semut di Perbatasan Sota sudah patah puncaknya

Senin, 03 Desember 2012

Menikmati Pesona Jayapura

Jayapura dari Menara tvri

Papua memang terkenal dengan keindahan alamnya, tak terkecuali Jayapura. Ibu kota Papua Timur ini menyimpan sejuta pesona. Saat masih di angkasa saja, menjelang mendarat di Bandara, mata sudah dimanjakan dengan pemandangan cantik Danau Sentani yang serasa menyapa kita. Danaunya yang terhampar luas itu dihiasi dengan pulau-pulau kecil di tengahnya. Bukit-bukit berderet mengelilingi bak benteng yang menjaga agar air danau tidak tumpah terbuang dengan percuma. Uniknya, di perbukitan itu pohon tumbuh tidak merata. Di satu sisi pepohonan menghijau dengan lebatnya, di sisi lain tampak gundul hanya ditumbuhi rerumputan semata. Hingga roda pesawat menyentuh landasan, pemandangnan yang dasyat ini membuatku tak ingin memalingkan muka dari jendela sambil jeprat-jepret menekan tombol kamera.

Dari Bandara Sentani menuju kota Jayapura, hanya ada satu jalan yang menghubungkannya dan akan menjadikan satu keasyikan tersendiri bagi kita. Jangan lupa arahkan pandangan ke sebelah kanan, karena Danau Sentani akan dapat kita nikmati dari jarak dekat. Selain danau, bukit di kanan kiri jalan dan birunya langit yang dihiasi awan putih akan menjadi pemandangan yang sulit untuk dilupakan. Rasanya dengan menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan saja, sudah bagaikan melakukan rekreasi rasanya.

Nah, tempat yang wajib dikunjungi saat ke Jayapura adalah Jayapura City. Sebuah tempat di puncak bukit yang juga terkenal sebagai Menara TVRI, karena di tempat ini terdapat pemancar milik TV berplat merah tersebut. Saat ini sudah hampir semua stasiun TV meletakkan pemancarnya di sini. Di tempat ini terdapat tulisan “Jayapura City” yang sangat besar dan kita dapat melihat kota Jayapura dan bukit yang ada di sekitarnya dari atas. Kota yang terletak di pinggir teluk ini bisa terlihat semua bagiannya dengan jelas. Laut Pasifik yang lepas juga bisa kita nikmati keindahannya. Saat aku kesini bertepatan dengan datangnya sang senja, sehingga kerlap-kerlip lampu kota menambah semarak suasana. Untuk mendapatkan gambar yang bagus, kita harus meniti penyangga tulisan raksasa sehingga diperlukan kehati-hatian dan menjaga keseimbangan dengan seksama. Bagi yang takut ketinggian, disarankan agar tidak mencoba melakukannya.

Turun dari kota sangat disarankan dilakukan pada pagi hari, karena kita dapat melihat sunrise dari Teluk Yotefa yang juga terletak di pinggir jalan raya.  Meskipun aku sampai sini sudah jam 6.30 dimana matahari sudah terlihat tinggi, tapi pemandangannya tetap tak kalah indah. Jangan lupa mampir ke Pasar Induk yang tak jauh dari teluk ini untuk sekedar membeli buah tangan berupa ikan asar (asap). Biasanya ikan yang diasap selama berjam-jam ini berupa ikan cakalang atau ekor kuning yang besar-besar dengan kisaran harga antara 25rb hingga 60rb per ekor tergantung pada besar kecil ukurannya.

Kuliner yang banyak ditemui apalagi kalau bukan ikan? Dan ternyata ikan mujair dan bandeng yang justru  banyak ditemukan di warung makan ataupun restoran. Aku agak kaget karena harga bandeng per porsi mencapai 45rb, sudah termasuk sayur lodeh dan sambel kacang sebagai cocolan. Sementara ikan mujair rata-rata dihargai 60rb per porsi. Lumayan mahal memang. Maka siapkan merogoh kocek lebih dalam, karena harga-harga di sini sepertinya dua kali lipatnya Jakarta. Ada juga buah khas bernama Matoa yang isinya seperti rambutan tapi ada aroma duriannya , tapi sayang pas lagi bukan musimnya, jadi akupun tak bisa menikmati rasanya.

Jika di daerah lain ada musim hujan dan kemarau, maka seperti halnya di Timika, di Jayapura juga tidak mengenal musim. Cuaca bisa berubah sangat cepat dan hujan bisa turun kapan saja semaunya. Pada saat matahari memancarkan sinarnya, maka panas yang ditimbulkan akan sangat terik dan menyengat hingga mata dibuat silau karenanya. Mungkin panasnya bisa dua kali lipatnya Jakarta.

Penginapan harganya malah tidak terlalu mahal. Aku bisa dapat hotel yang bersih, aman dan nyaman cukup dengan 270rb saja. Namanya Hotel Kartini yang letaknya persis di samping Markas Polisi. Sedangkan untuk penerbangan dari Jakarta ke Jayapura memakan waktu lebih kurang 6 jam dengan harga tiket mulai dari 1,5juta.

Meskipun mata kita sangat dimanjakan dengan panorama yang tak terkira, bagi para wanita tetaplah anda waspada. Karena peredaran minuman keras lebih leluasa, maka hal ini juga berdampak pada tingkat keamanan dan kriminalitasnya. Jadi disarankan apabila malam telah tiba, akan lebih baik jika berdiam diri di kamar saja. J

Ayo ke Papua..!

Danau Sentani dari ketinggian


Kota Abepura


Menikmati Jayapura dari Menara tvri. Perlu keseimbangan prima

Sapa pagi dari Teluk Yotefa


Pedagang ikan asar di Pasar Induk Yotefa


Danau Sentani dari dekat


Awan di atas Papua. Rosaaa..!

Sabtu, 01 Desember 2012

Akhirnya Aku Sampai Di Timika

Bandara Mozes Kilangin

Siang hari yang cerah, menjelang pesawat mendarat, ku tengok keluar jendela pesawat. Tampak terhampar hutan hijau nan lebat di bawah sana laksana karpet raksasa. Apalagi saat terlihat sungai yang berkelok-kelok seperti ular yang melata di rerumputan, saya berasa tengah melihat sungai Amazon. Ya, aku telah sampai ke Papua yang sebenarnya. Tidak seperti waktu ke Merauke, menjelang pendaratan ternyata yag terlihat adalah pantai dan rawa-rawa.

Setelah melalui perjalanan selama 6,5 jam dari Jakarta, tepat jam 13.30 WIT pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Mozes Kilangin sesuai rencana. Nama Bandara ini diambilkan dari nama seorang tokoh yang disegani yang berasal dari Suku Amungme. Patung tokoh ini diabadikan juga di gerbang masuk Bandara.

Suasana Bandara sangat kental dengan nuansa pertambangan. Maklum saja, disinilah PT. Freeport melakukan eksplorasi tembaga dan emas, yang konon kabarnya emas di sini mempunyai kualitas  nomer satu di dunia. 

Keluar dari Bandara kita disambut papan nama yang terbuat dari ban dump truck yang sangat besar, hingga terbayang betapa besar truck nya. Terlihat ada 22 bendera berbagai negara yang ikut membangun Bandara ini. Di area parkir terdapat bis karyawan Freeport berwarna oranye untuk menuju lokasi tambang yang sudah dilindungi plat baja anti peluru. Sepertinya ini adalah satu-satunya bis anti peluru di Indonesia.

Meskipun dikelilingi oleh hutan belantara, pegunungan dan tak jauh dari pantai, Timika bukanlah tempat wisata. Belum ada investor yang menggarap kawasan hutan dan pegunungan ini untuk dijadikan kawasan wisata yang mempesona. Pantainya juga berawa-rawa sehingga kurang menarik untuk dikunjungi sebagai sarana pencuci mata.

Tapi makanan lautnya yang nikmat, bisa menjadi alternatif wisata kuliner. Sepertinya halnya di Jawa, warung tenda sea food banyak bertebaran di sepanjang jalan. Sebenarnya  ke Timika belum lengkap rasanya kalau belum menikmati karaka atau kepiting yang besar dan tentu enak rasanya. Sayangnya aku tak sempat menikmatinya karena saat itu kepiting sedang tidak musimnya. Hiks.. Tak apalah, toh cumi, kepala kakap dan udang bisa menjadi penggantinya. Rasanya gurih, manis, walaupun tanpa bumbu yang mlekoh. Siapkan uang lebih ya, karena harga makanan di sini cukup mahal, kira-kira dua kali lipat harga di Jakarta.

Udara di ibukota Kabupaten Mimika ini sangatlah segar dan bebas polusi. Dan anehnya di sini tak ada musim. Hujan bisa turun kapan saja sepanjang tahun dan cuaca bisa berubah dengan sangat cepat. Setelah panas terik yang menyengat kulit, bisa saja tiba-tiba langsung turun hujan dengan lebatnya. Tak heran nyamuk malaria menjadi momok tersendiri bagi sebagian orang yang mau datang ke Papua.

Di pasar aku bertemu dengan seorang wanita yang duduk lesehan berpanas-panasan sambil membuat noken, tas khas Papua yang cara memakainya talinya diletakkan di atas kepala. Di keningnya terikat dedaunan yang ternyata setelah aku tanya itu adalah obat demam karena dia terkena malaria. Belakangan aku baru tahu dedaunan itu bernama ‘daun gatal’. Konon katanya bisa menyembuhkan penyakit apa saja, asal tahan saja sama rasa gatal yang ditimbulkannya.

Secara umum kota Timika yang bisa dijangkau dalam waktu 15 menit dari Bandara ini aman, tidak seperti yang diberitakan di media massa yang isinya penuh horor yang mencekam sehingga orang jadi takut dibuatnya. Jalanannya lebar dan mulus, di kanan kiri jalan banyak pedagang kaki lima yang jual gorengan, buah-buahan, martabak, warung tenda, dll. Tak beda seperti di Jawa saja rasanya.

Penduduk asli dan pendatang dari seluruh Indonesia berbaur dengan sewajarnya. Tak ada rasa benci dan bermusuhan. Kalaupun ada kerusuhan ya itu wajar saja. Bukankah di semua tempat juga begitu? Di Jakarta saja banyak penjahat yang membunuh korbannya, demikian juga di tempat lain ada juga polisi yang meninggal karena ditembak oleh perusuh. Kalaupun ada keributan, biasanya itu adalah konflik internal antar suku dan malah ada aturannya.

Ada satu wilayah khusus bernama Kuala Kencana. Ini adalah kota eksklusif milih PT. Freeport Indonesia. Mungkin kalau di Jakarta namanya kota mandiri seperti halnya BSD. Semua fasilitas lengkap tersedia mulai dari sekolah, Rumah Sakit, tempat belanja dan sarana hiburan ada di sini. Kawasan industri dan perkantoran yang terkait dengan pertambangan juga berada di sini. Dari kota Timika, tempat ini dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.

Untuk transportasi lokal, meskipun ada angkot yang berwarna kuning, tapi trayeknya tidak jelas, tergantung pada jumlah penumpang terbanyak saja. Jadi kalau ke sini lebih baik sewa kendaraan atau naik ojeg yang banyak mangkal. Tarif dekat hanya Rp 5 ribu. Penginapan yang layak bervariasi antara 350 hingga700 rb. Aku dapat di Hotel Intsia di depan Pengadilan Negeri yang kamarnya bersih dan cukup luas dengan rate Rp 350 ribu saja dan sudah dapat sarapan pagi dan snack sore.

Penerbangan komersial dari Jakarta dilayani oleh Merpati yang berangkat jam 5 pagi dan Garuda yang berangkat malam hari dan tiba keesokan harinya dengan harga tiket mulai dari Rp 2 jutaan sekali jalan.

Meskipun tak ada lokasi wisata dan cuma dua hari di sana, tapi aku tetap terkesan dengan Timika.

Kelokan sungai di tengah hutan

Kamar hotel 350rb semalam

Wanita pembuat noken terkena malaria

Geliat pembangunan 

Bis anti peluru di parkiran Bandara