Rabu, 29 Agustus 2018

Sato San

Sato, teman ngobrol di kala lapar melanda
"Siti Saaan...!" Seorang lelaki tinggi langsing langsung menyapaku sambil tersenyum lebar begitu aku membuka pintu guest house yang letaknya hanya 200 meter dari stasiun Tobu Nikko, Perfektur Tochigi, 2,5 jam perjalanan naik kereta dari Tokyo. Sejenak aku terkejut kenapa dia begitu yakin kalau tamunya itu bernama Siti? Oh rupanya aku adalah satu-satunya tamu yang hari itu belum check in. Aku memang sudah booking guest house ini jauh hari sebelum berangkat ke Jepang sehingga namaku sudah bertengger di list tamunya. Pada saat dia lihat data pasporku dia bilang begini : "Wah kita sepantaran, tahun lahir kita sama." katanya dengan wajah tetap tersenyum ramah.

"Nama saya Sato", begitu dia memperkenalkan diri. Ku tanya apa artinya, dia memjawab kalau ini nama pasaran dan tidak ada artinya. Kalau di Indonesia mungkin seperti nama Eka. Kemudian dia mengantarku keliling guest housenya yang mungil. Di lantai bawah ada dua kamar untuk laki-laki, ruang bersama untuk ngobrol dan makan, satu kamar mandi, satu toilet dan dapur dengan alat memasak yang cukup lengkap. Ya, aku memang mencari penginapan yang ada dapurnya agar bisa masak sendiri - minimal masak mie instant dan oat. di lantai atas ada satu kamar khusus perempuan dengan dua tempat tidur susun. Dan inilah kamarku yang kemudian aku tahu tiga penghuni lainnya adalah solo backpacker juga seperti aku yang berasal dari Singapura, Perancis dan Polandia.

"Oiya apakah ini kunjungan pertamamu ke Jepang?" tanya Sato. Ketika ku jawab iya Sato kemudian menjelaskan soal penggunaan tissue toilet. "Di Jepang tissue toilet harus dibuang ke lobang kloset, bukan dibuang ke tempat sampah seperti di negara lain karena tissuenya sudah dirancang akan hancur kalau terkena air. Tapi untuk tissue makan atau tissue wajah tidak boleh. Hanya khusus tissue toilet saja." Ooooo pantesan semalam pas di toilet bandara kok tempat sampahnya kecil banget. Ternyata ini to sebabnya? Maklum aku tidak baca petunjuknya secara detail. Jadi tempat sampahnya itu hanya untuk pembuangan semacam pembalut wanita saja.

Setelah meletakkan tas di kamar, aku kembali turun ke lantai satu untuk masak mie instant. Bukan cuma sekedar mau ngirit, tapi ternyata di Nikko memang tak ada satupun restoran halal. Jadi biar lebih simpel makanya aku bawa sedikit bahan makanan mentah dan lauk demi menghadapi kondisi darurat seperti ini. Sato membantuku menghidupkan kompor listrik. Maklum selain petunjuknya dalam bahasa Jepang juga tak pernah memakai kompor jenis ini. Tapi untuk ada juga kompor gas kecil, jadi pas masak di hari berikutnya aku tak perlu minta bantuan.

Sambil makan kami masih tetap ngobrol ringan. Sato bilang kalau malam ini akan ada Festival Dance dan para tamu akan diajak nonton bareng. Dia menawarkan padaku apakah aku akan ikut. Tadinya aku ragu karena menduga ini adalah dance ngak ngek ngok layaknya di diskotik-diskotik itu. Tapi ketika dia bilang kalau semua warga dari anak kecil hingga kakek nenek, laki perempuan pada hadir semua, maka aku kemudian mengiyakan tawarannya.

Jam 18.00 kami berangkat ke lokasi festival ditemani oleh istri dan adiknya Sato dengan naik bus gratis. Dan aku tidak salah. Aku sangat menikmati festival dance tradisional itu yang tak jauh beda dengan tarian Jawa. Bahkan akupun ikut larut bersama warga menari berkeliling arena sampai basah karena berkeringat. Ah, kesan pertamaku tentang Jepang dan orang-orangnya yang ramah ternyata sangat berkesan hingga di sudut hatiku. Terima kasih Sato dan fam yang telah membuatku seolah berada di rumah sendiri.

#JapanNikko

Adiknya Sato

Dapur

Guest house mungil nan nyaman



Tidak ada komentar:

Posting Komentar