Jumat, 31 Agustus 2018

Warake


Awalnya aku memilih Nikko sebagai salah satu tujuan wisata karena lokasinya yang sejuk dan banyak tempat menarik yang sayang kalau dilewatkan. Ternyata di musim panas ada banyak Festival yang diselenggarakan di sana. Yang sudah jelas masuk ke itineraryku adalah nonton Festival Kembang Api (Hanabi) di Danau Kawaguchiko. Tak tahunya meskipun hanya menginap semalam aku dapat bonus bisa menyaksikan Warake (Festival Dance).

Sore itu sekitar jam 6 sore kami para tamu diantarkan oleh pemilik guest house (istrinya Sato san) berangkat ke lokasi festival di halaman pabrik Furukawa dengan naik bus gratis dari halte depan Stasiun. Turun dari bus sudah terlihat keramaian  pasar malam yang menjual bermacam-macam makanan dan minuman yang sepertinya sangat lezat rasanya. Aku ga berani beli karena seperti kata Sato San di Nikko tidak ada yang jual halal food. Jadi untuk amannya aku bawa bekal air putih di botol yang kuambil dari kran dapur guest house. Ya, karena air di Jepang bisa diminum langsung tanpa harus dimasak. Apalagi di sini sumbernya langsung dari mata air pegunungan. Airnya segar dan dingin seperti air kulkas.

Jam 19.00 tepat serentak semua lampu dinyalakan bersamaan dengan diputarnya iringan musik tradisonal. Warga yang tergabung dalam kelompok-kelompok berseragam pakaian khas daerah berwarna-warni mulai memasuki arena dan menari dengan gerakan sederhana. Gerakannya hampir sama seperti tarian Jawa sehingga orang asing yang ingin ikut menaripun tak kesulitan mengikutinya. Temanku yang dari Polandia bilang kalau aku penari yang bagus, bisa menari sepwrti orang Jepang. Ya iyalah mbak, cakep-cakep gini dulunya aku penari lho. Haha...

Malam itu semua warga dan pengunjung terlihat gembira menikmati acara ini. Badan yang tadinya lelah karena seharian keliling kuil langsung jadi fresh kembali.

#JapanNikko

Menunggu bus bersama teman-teman tamu guest house

Belajar menari sama nenek

Jajanan di pasar malam


Beli es krim dulu

Warha mulai berdatangan

Pakai rompi dulu sebelum menari



Nikko, Wisata Budaya dan Alam Jepang yang Menakjubkan

Shinkyo Bridge
Nikko sebelumnya hanya ku kenal sebagai salah satu nama hotel mewah di bilangan Jalan Thamrin, tapi sekarang hotel itupun sudah ditutup. Bermula dari dapat tiket promo ke Tokyo seharga 3 juta PP untuk bulan Agustus 2018 dan ternyata baru tahu kalau di bulan itu Jepang tengah musim panas yang suhunya bisa mencapai 38 derajat. Berhubung aku orangnya kalau kepanasan dan terkena terik matahari jadi gampang pusing dan berkunang-kunang, maka browsinglah tempat-tempat wisata yang berada di kawasan pegunungan yang lokasinya masih terjangkau dari Tokyo. Maklum cuma punya waktu 5 hari efektif di Jepang. Ketemulah dua lokasi yaitu Nikko dan Kawaguchiko yang semuanya cukup ditempuh dalam waktu 2,5 jam dari Tokyo.

Dengan berbekal Nikko Pass seharga 2000 Yen yang berlaku selama dua hari yang ku beli secara online di di sini, berangkatlah aku ke Nikko dari Stasiun Asakusa. Oiya Pass ini selain mengcover transportasi dengan kereta maupun bus di World Heritage area hingga Shin-Fujiwara Station (Nikko City), juga sudah termasuk tiket kereta Asakusa - Nikko PP dengan kereta lokal. Kalau kita mau naik kereta limited express atau Shinkansen maka harus bayar lagi tapi dengan diskon 20%. Harga tiketnya sebesar 2800 Yen sekali jalan. Tak salah aku pilih kereta lokal yang meskipun harus dua kali transfer ganti kereta di Hikifune dan Minami Kurihashi Station, karena sampainya hanya selisih 30 menit dibandingkan naik kereta cepat juga di sepanjang perjalanan aku bisa menikmati indahnya pemandangan pedesaan khas Jepang. Cantik sekali. Oiya selain Nikko Pass yang berlaku selama 2 hari, masih ada Nikko All Pass yang berlaku selama 4 hari dan transportasinya mencakup seluruh wilayah Nikko seharga 4500 Yen. Pilihan wisata dengan Nikko Pass adalah Area World Heritage, Tobu World Square, Edo Wonderland dan Kinugawa Onsen. Karena keterbatasan waktu aku hanya ambil lokasi wisata satu dan dua.

Kereta menuju Nikko sama persis dengan kereta commuter yang ada di Jakarta. Ya iyalah, kan kereta CL Jakarta memang import bekas dari sana. Hehehe.. Saat ganti kereta yang terakhir bahkan penampakannya seperti kereta tua. Tapi meskipun begitu kereta bersih dan tentu saja selalu terawat dengan baik. Di Hikifune Station aku dapat teman seperjalanan seorang traveler dari Inggris bernama Darliah. Dia kebingungan mau naik kereta apa karena memang jalur kereta di Jepang sangat ruwet kalau kita belum paham.

Sesampainya di Tobu Nikko Station, saat keluar dari peron ku ambil jalur khusus dekat Informasi karena Pass nya tidak bisa digunakan di mesin tiket. Jadi saat kita mau keluar ataupun masuk stasiun harus menunjukkan langsung Passnya pada petugas. Secara umum stasiunnya tidak begitu besar berupa bangunan sederhana tapi cukup unik. Ada tempat penitipan koper dan juga musholla di lantai 2. Tapi kalau mau sholat harus minta kuncinya ke petugas informasi lebih dulu ya.. Di depan stasiun langsung terhubung dengan bus yang menuju ke kawasan UNESCO World Heritage maupun yang ke arah Chuzenji Lake yang hanya tercover oleh Nikko All Pass.

Setelah mengisi perut dengan roti bakar bekal dari rumah - Alhamdulillah perutku tidak rewel, apa saja bisa masuk tak harus nasi, bergegas aku menuju ke halte menunggu bus 2B yang rutenya melewati kawasan World Heritage yang terdiri rutenya bisa dimulai dari Shinkyo Bridge dan kemudian berlanjut ke tiga kuil besar yaitu Rinnoji Temple, Toshogu dan Futarasan Jinja. Ketiga temple ini letaknya berada dalam satu komplek yang luas, jadi kita bisa jalan kaki saja untuk mengunjunginya sambil menikmati hijau dan segarnya udara di sekelilingnya. Naik turun bus cukup dengan menunjukkan kartu sakti Nikko Pass maka kita akan gratis secapeknya selama dua hari. Pass tidak bisa digunakan sebagai tiket masuk ke kuil ya, jadi kita harus beli tiket terpisah yang tarifnya berkisar antara 300 - 1300 Yen. Kemarin aku ga masuk ke dalam kuil, cukup melihat-lihat saja dari luar sudah puas.

Kuil Toshogu adalah salah satu kuil yang ngehits yang harus dikunjungi - dibangun pada tahun 1617 untuk menghormati Tokugawa Ieyasu yang merupakan pendiri keluarga Tokugawa yang menguasai seluruh wilayah Jepang pada tahun 1600 - 1869. Di depan kuil terdapat Pagoda merah 5 lantai setinggi 36 meter bernama Pagoda Gojunoto. Yang menarik adalah di jalanan depan Rinnoji Temple ku temukan pertunjukan topeng monyet. Hampir sama dengan yang ada di Jakarta dulu tapi bedanya si monyet terlihat enjoy dalam bermain karena kalau capek dia dipijitin sama pawangnya.

Shinkyo Bridge baru ku kunjungi pada hari kedua karena pas hari pertama busnya sudah kelewatan. Mau balik jalan kaki kok males, sudah capek. Jembatan kayu berwarna merah yang melintasi sungai Daiya ini merupakan pintu gerbang masuk ke kuil-kuil besar yang ada di Nikko.  Jangan lupa untuk foto-foto di sini karena ini salah satu icon kota Nikko. Untuk melintasi jembatan tiket masuknya sebesar 300 Yen.

Meskipun Nikko bukan merupakan tujuan wisata utama buat wisatawan dari Indonesia dan kali ini hanya bisa mengunjungi kawasan World Heritage dan Tobu World Square, tapi melihat keindahan alamnya, keramahan warganya dan keanekaragaman budayanya, maka sebenarnya sayang kalau tempat ini dilewatkan begitu saja dalam itinerary anda. Beneran deh, nyesel kalau tak mampir ke sini. Kalau ada kesempatan balik ke Jepang lagi, aku akan agendakan lagi ke sini karena ingin menikmati keindahan alam di Chuzenji Lake, Kegon Falls, Ryuzu Falls dan sekitarnya. Hanya satu kekurangannya, belum ada restoran halal di sini. Jadi kalau mau aman sebaiknya bawa bekal lauk dari rumah dan cari penginapan yang ada dapurnya sehingga bisa masak sendiri.

#JapanNikko

Tobu Nikko Station

Musholla di lantai 2 Stasiun

Kereta jadul yang masih perkasa

Rinnoji Temple

Pintu masuk Toshogu Shrine

Pagoda Gojunoto

Gerbang masuk Futarasan Jinja

Lipatan kertas di depan Kuil. Sepertinya ini berisi harapan/doa

Gadis Jepang dengan Yutaka

Pemandangan menuju Kuil

Topeng monyet ala Jepang









Rabu, 29 Agustus 2018

Sato San

Sato, teman ngobrol di kala lapar melanda
"Siti Saaan...!" Seorang lelaki tinggi langsing langsung menyapaku sambil tersenyum lebar begitu aku membuka pintu guest house yang letaknya hanya 200 meter dari stasiun Tobu Nikko, Perfektur Tochigi, 2,5 jam perjalanan naik kereta dari Tokyo. Sejenak aku terkejut kenapa dia begitu yakin kalau tamunya itu bernama Siti? Oh rupanya aku adalah satu-satunya tamu yang hari itu belum check in. Aku memang sudah booking guest house ini jauh hari sebelum berangkat ke Jepang sehingga namaku sudah bertengger di list tamunya. Pada saat dia lihat data pasporku dia bilang begini : "Wah kita sepantaran, tahun lahir kita sama." katanya dengan wajah tetap tersenyum ramah.

"Nama saya Sato", begitu dia memperkenalkan diri. Ku tanya apa artinya, dia memjawab kalau ini nama pasaran dan tidak ada artinya. Kalau di Indonesia mungkin seperti nama Eka. Kemudian dia mengantarku keliling guest housenya yang mungil. Di lantai bawah ada dua kamar untuk laki-laki, ruang bersama untuk ngobrol dan makan, satu kamar mandi, satu toilet dan dapur dengan alat memasak yang cukup lengkap. Ya, aku memang mencari penginapan yang ada dapurnya agar bisa masak sendiri - minimal masak mie instant dan oat. di lantai atas ada satu kamar khusus perempuan dengan dua tempat tidur susun. Dan inilah kamarku yang kemudian aku tahu tiga penghuni lainnya adalah solo backpacker juga seperti aku yang berasal dari Singapura, Perancis dan Polandia.

"Oiya apakah ini kunjungan pertamamu ke Jepang?" tanya Sato. Ketika ku jawab iya Sato kemudian menjelaskan soal penggunaan tissue toilet. "Di Jepang tissue toilet harus dibuang ke lobang kloset, bukan dibuang ke tempat sampah seperti di negara lain karena tissuenya sudah dirancang akan hancur kalau terkena air. Tapi untuk tissue makan atau tissue wajah tidak boleh. Hanya khusus tissue toilet saja." Ooooo pantesan semalam pas di toilet bandara kok tempat sampahnya kecil banget. Ternyata ini to sebabnya? Maklum aku tidak baca petunjuknya secara detail. Jadi tempat sampahnya itu hanya untuk pembuangan semacam pembalut wanita saja.

Setelah meletakkan tas di kamar, aku kembali turun ke lantai satu untuk masak mie instant. Bukan cuma sekedar mau ngirit, tapi ternyata di Nikko memang tak ada satupun restoran halal. Jadi biar lebih simpel makanya aku bawa sedikit bahan makanan mentah dan lauk demi menghadapi kondisi darurat seperti ini. Sato membantuku menghidupkan kompor listrik. Maklum selain petunjuknya dalam bahasa Jepang juga tak pernah memakai kompor jenis ini. Tapi untuk ada juga kompor gas kecil, jadi pas masak di hari berikutnya aku tak perlu minta bantuan.

Sambil makan kami masih tetap ngobrol ringan. Sato bilang kalau malam ini akan ada Festival Dance dan para tamu akan diajak nonton bareng. Dia menawarkan padaku apakah aku akan ikut. Tadinya aku ragu karena menduga ini adalah dance ngak ngek ngok layaknya di diskotik-diskotik itu. Tapi ketika dia bilang kalau semua warga dari anak kecil hingga kakek nenek, laki perempuan pada hadir semua, maka aku kemudian mengiyakan tawarannya.

Jam 18.00 kami berangkat ke lokasi festival ditemani oleh istri dan adiknya Sato dengan naik bus gratis. Dan aku tidak salah. Aku sangat menikmati festival dance tradisional itu yang tak jauh beda dengan tarian Jawa. Bahkan akupun ikut larut bersama warga menari berkeliling arena sampai basah karena berkeringat. Ah, kesan pertamaku tentang Jepang dan orang-orangnya yang ramah ternyata sangat berkesan hingga di sudut hatiku. Terima kasih Sato dan fam yang telah membuatku seolah berada di rumah sendiri.

#JapanNikko

Adiknya Sato

Dapur

Guest house mungil nan nyaman



Selasa, 28 Agustus 2018

Menginap di Bandara Haneda, Asyik Juga


Tanggal 2 Agustus 2018 jam 22.30 pesawat mendarat di Bandara Haneda, Tokyo sesuai jadual. Begitu masuk gedung Bandara antrian di Imigrasi mengular meskipun loket yang dibuka cukup banyak. Maklum bertepatan dengan liburan musim panas. Untung aku sudah mengisi form Imigrasi saat di pesawat jadi bisa langsung masuk ke antrian. Sama petugas loket cuma ditanya, ini pertama kali ke Jepang? Sendirian saja? Kuncinya jika ingin lancar jangan lupa beri senyum manis, jangan terlihat takut atau grogi dan jangan sekali-kali memotret di kawasan ini kalau tidak ingin kena random check dan kemudian diinterview atau diinterogasi. Akibatnya bisa fatal.

Menjelang jam 12 malam baru beres urusan di Imigrasi sehingga rencana menginap di rumah teman batal demi hukum karena cari kereta sudah susah. Jadilah ke rencana awal, menginap di Bandara. Saat bertanya ke petugas di informasi di mana bisa numpang tidur, dijawab silahkan saja semua area bisa dipakai buat tidur. Ku coba naik ke lantai 2, kok ramai? Akhirnya balik turun lagi ke lantai 1 dan dapat tempat yang cukup nyaman di dekat counter check in domestik. Kursinya banyak tapi sebagian besar ada sekat berupa sandaran tangan. Jadi pilihlah kursi prioritas yang tanpa sekat sehingga bisa untuk tidur dengan nyaman. Kursinya lumayan empuk karena ada bantalannya dan lokasinya tak jauh dari toilet.

Meskipun suasananya cukup ramai banyak yang senasib jadi teman tidur, tapi tidak perlu khawatir tempatnya aman karena ada petugas yang mengawasi sepanjang malam.  Untuk barang-barang berharga seperti paspor dan dompet sebaiknya disimpan dalam tas kecil dan selalu dibawa kemanapun kita pergi.

Jam 5 pagi alarm berbunyi, bergegas aku bangun, menuju toilet, BAK dan "mandi" dengan tissue basah. Sebenarnya ada kamar mandi tapi aku tidakrela masak mandi aja harus bayar 1000 Yen atau Rp 130.000 sih?  Gapapa yang penting badan sudah wangi dan gosok gigi. Hahaha..

Oh iya pastikan sebelum jam 6 sudah bangun ya daripada nanti dibangunkan sama petugasnya kan malu. Lagian kemarin itu jam 5 juga sudah terang karena kebetulan pas lagi musim panas.

Ok itu saja pengalaman keduaku menginap di Bandara. Yang pertama menginapnya di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar karena waktu itu mendarat tengah malam dan pas hujan deras. Tak perlu takut tidur di Bandara. Selain seru bisa jadi pengalaman dan cerita buat anak cucu juga bikin irit pastinya.


Kamis, 23 Agustus 2018

Tips Transportasi Irit di Jepang

Foto di samping Shinkansen. Naik? Kagak.
Jepang identik dengan mahal? Iya memang betul karena harga-harga di sana paling tidak 5x lipat dibandingkan harga di Indonesia. Tapi tak perlu khawatir karena kalau kita tahu tips dan triknya maka hal itu tidak akan jadi masalah. Caranya bagaimana?

Untuk transportasi sebaiknya beli tiket pass. Ada macam-macam tiket pass yang ditawarkan seperti JR Pass yang selain mengcover tiket kereta JR juga bisa untuk naik Shinkansen, ada Metro Pass untuk kereta bawah tanah, dll.

Karena kemarin aku cuma muter-muter sekitar Nikko, Kawaguchiko dan Tokyo maka sayang kalau harus beli JR pass yang harganya lebih dari Rp 3,5 juta. Lha wong harga tiket pesawatnya saja PP cuma Rp 3 juta je.  Ga papa deh tidak merasakan naik Shinkansen, bisa foto di dekatnya saja aku sudah bahagia. Haha.. Jadi untuk transportasi aku pakai sbb :

1. Pasmo
Ini adalah kartu semacam e-money yang bisa digunakan untuk naik kereta, bus, belanja di minimart, dll. Harganya 3000 Yen dimana 500 Yen nya adalah deposit yang bisa diambil kembali dan 2500 Yen merupakan saldonya.

Pasmo dan Tokyo Subway Pass

2. Tokyo Subway Pass
Kartu ini bisa digunakan untuk naik subway yang dioperasikan oleh Tokyo Metro dan Toei. Harganya 800 Yen berlaku selama 24 jam sejak pertama kali digunakan. Jadi meskipun aku belinya pada tanggal 2 Agustus tapi baru aku pakai pada tanggal 6 Agustus. Kedua pass ini (Pasmo dan Tokyo Subway) dapat dibeli di Tourist Information yang ada di gate kedatangan Bandara Haneda. Pass ini akan sangat berguna terutama kalau kita nyasar salah jurusan ga perlu beli tiket lagi untuk kembali ke jalan yang benar.



3. Nikko Pass
Tiket seharga 2000 Yen ini berlaku untuk naik kereta lokal dari Asakusa Station ke Tobu Nikko Station PP dan bus lokal Nikko yang melintasi area World Heritage (seputar 3 Temple besar). Kalau kita mau ngeteng, tiket kereta ke Nikko sekali jalan saja paling murah seharga 1360 Yen atau 2720 Yen belum termasuk bus lokal di Nikko. Kalau mau naik kereta Express jauh lebih mahal lagi sekitar 2500 Yen sekali jalan. Karena waktu tempuhnya hanya selisih sekitar 30 menit, sebagai warga backpacker yang baik ya jelas pilih yang Murmer saja. Hehehe.. Pass ini bisa dibeli secara online dan nanti bisa ditukar voucher di Tobu Tourist Information Center di lantai 1 Asakusa Station. Oiya Pass ini tidak bisa dipakai di mesin tiket, cukup ditunjukkan ke petugas atau driver bus saat naik atau turun.

Tempat penukaran Nikko Pass


Stasiun Tobu Nikko

Nikko Pass

4. Highway Bus
Untuk ke Kawaguchiko tiket ini yang paling murah dibandingkan naik kereta atau yang lain. Harganya 1800 Yen sekali jalan. Karena saat itu pas ada Festival di Kawaguchiko, maka aku beli online sejak jauh hari karena khawatir tak kebagian tiket. Saat beli kita bisa sekalian pilih tempat duduk dan disediakan seat khusus untuk wanita lho. Perjalanan berangkat dari Shibuya Mark City lantai 5 dan berakhir di Kawaguchiko Station ditempuh antara 2,5 sd 3 jam.

Menunggu Highway Bus

Interior Highway Bus. Seat 2-2, ada toiletnya

5. Retro Pass
Kalau yang ini adalah Pass untuk muter-muter selama di Kawaguchiko seharga 1500 Yen dan berlaku selama 2 hari. Tiket bisa dibeli di loket Sightseeing bus Counter yang terletak di depan Kawaguchiko Station serta bisa digunakan untuk Red, Green dan Blue Line Bus. Kalau ngeteng sekali perjalanan ke satu tujuan wisata (tempat wisata di sini banyak banget) tiketnya antara 200 - 800 Yen. Jangan lupa tunjukkan Pass ini ke drivernya saat akan turun agar tidak disuruh bayar cash.



Stasiun Kawaguchiko


Tempat pembelian Retro Pass


Penampakan Bus Green Line
Dah itu saja tipsnya. Jadi tenang saja kantong kita ga bakalan jebol kok meski jalan-jalan di negara yang berbiaya hidup mahal.