Sabtu, 01 Desember 2012

Akhirnya Aku Sampai Di Timika

Bandara Mozes Kilangin

Siang hari yang cerah, menjelang pesawat mendarat, ku tengok keluar jendela pesawat. Tampak terhampar hutan hijau nan lebat di bawah sana laksana karpet raksasa. Apalagi saat terlihat sungai yang berkelok-kelok seperti ular yang melata di rerumputan, saya berasa tengah melihat sungai Amazon. Ya, aku telah sampai ke Papua yang sebenarnya. Tidak seperti waktu ke Merauke, menjelang pendaratan ternyata yag terlihat adalah pantai dan rawa-rawa.

Setelah melalui perjalanan selama 6,5 jam dari Jakarta, tepat jam 13.30 WIT pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Mozes Kilangin sesuai rencana. Nama Bandara ini diambilkan dari nama seorang tokoh yang disegani yang berasal dari Suku Amungme. Patung tokoh ini diabadikan juga di gerbang masuk Bandara.

Suasana Bandara sangat kental dengan nuansa pertambangan. Maklum saja, disinilah PT. Freeport melakukan eksplorasi tembaga dan emas, yang konon kabarnya emas di sini mempunyai kualitas  nomer satu di dunia. 

Keluar dari Bandara kita disambut papan nama yang terbuat dari ban dump truck yang sangat besar, hingga terbayang betapa besar truck nya. Terlihat ada 22 bendera berbagai negara yang ikut membangun Bandara ini. Di area parkir terdapat bis karyawan Freeport berwarna oranye untuk menuju lokasi tambang yang sudah dilindungi plat baja anti peluru. Sepertinya ini adalah satu-satunya bis anti peluru di Indonesia.

Meskipun dikelilingi oleh hutan belantara, pegunungan dan tak jauh dari pantai, Timika bukanlah tempat wisata. Belum ada investor yang menggarap kawasan hutan dan pegunungan ini untuk dijadikan kawasan wisata yang mempesona. Pantainya juga berawa-rawa sehingga kurang menarik untuk dikunjungi sebagai sarana pencuci mata.

Tapi makanan lautnya yang nikmat, bisa menjadi alternatif wisata kuliner. Sepertinya halnya di Jawa, warung tenda sea food banyak bertebaran di sepanjang jalan. Sebenarnya  ke Timika belum lengkap rasanya kalau belum menikmati karaka atau kepiting yang besar dan tentu enak rasanya. Sayangnya aku tak sempat menikmatinya karena saat itu kepiting sedang tidak musimnya. Hiks.. Tak apalah, toh cumi, kepala kakap dan udang bisa menjadi penggantinya. Rasanya gurih, manis, walaupun tanpa bumbu yang mlekoh. Siapkan uang lebih ya, karena harga makanan di sini cukup mahal, kira-kira dua kali lipat harga di Jakarta.

Udara di ibukota Kabupaten Mimika ini sangatlah segar dan bebas polusi. Dan anehnya di sini tak ada musim. Hujan bisa turun kapan saja sepanjang tahun dan cuaca bisa berubah dengan sangat cepat. Setelah panas terik yang menyengat kulit, bisa saja tiba-tiba langsung turun hujan dengan lebatnya. Tak heran nyamuk malaria menjadi momok tersendiri bagi sebagian orang yang mau datang ke Papua.

Di pasar aku bertemu dengan seorang wanita yang duduk lesehan berpanas-panasan sambil membuat noken, tas khas Papua yang cara memakainya talinya diletakkan di atas kepala. Di keningnya terikat dedaunan yang ternyata setelah aku tanya itu adalah obat demam karena dia terkena malaria. Belakangan aku baru tahu dedaunan itu bernama ‘daun gatal’. Konon katanya bisa menyembuhkan penyakit apa saja, asal tahan saja sama rasa gatal yang ditimbulkannya.

Secara umum kota Timika yang bisa dijangkau dalam waktu 15 menit dari Bandara ini aman, tidak seperti yang diberitakan di media massa yang isinya penuh horor yang mencekam sehingga orang jadi takut dibuatnya. Jalanannya lebar dan mulus, di kanan kiri jalan banyak pedagang kaki lima yang jual gorengan, buah-buahan, martabak, warung tenda, dll. Tak beda seperti di Jawa saja rasanya.

Penduduk asli dan pendatang dari seluruh Indonesia berbaur dengan sewajarnya. Tak ada rasa benci dan bermusuhan. Kalaupun ada kerusuhan ya itu wajar saja. Bukankah di semua tempat juga begitu? Di Jakarta saja banyak penjahat yang membunuh korbannya, demikian juga di tempat lain ada juga polisi yang meninggal karena ditembak oleh perusuh. Kalaupun ada keributan, biasanya itu adalah konflik internal antar suku dan malah ada aturannya.

Ada satu wilayah khusus bernama Kuala Kencana. Ini adalah kota eksklusif milih PT. Freeport Indonesia. Mungkin kalau di Jakarta namanya kota mandiri seperti halnya BSD. Semua fasilitas lengkap tersedia mulai dari sekolah, Rumah Sakit, tempat belanja dan sarana hiburan ada di sini. Kawasan industri dan perkantoran yang terkait dengan pertambangan juga berada di sini. Dari kota Timika, tempat ini dapat ditempuh dalam waktu 45 menit.

Untuk transportasi lokal, meskipun ada angkot yang berwarna kuning, tapi trayeknya tidak jelas, tergantung pada jumlah penumpang terbanyak saja. Jadi kalau ke sini lebih baik sewa kendaraan atau naik ojeg yang banyak mangkal. Tarif dekat hanya Rp 5 ribu. Penginapan yang layak bervariasi antara 350 hingga700 rb. Aku dapat di Hotel Intsia di depan Pengadilan Negeri yang kamarnya bersih dan cukup luas dengan rate Rp 350 ribu saja dan sudah dapat sarapan pagi dan snack sore.

Penerbangan komersial dari Jakarta dilayani oleh Merpati yang berangkat jam 5 pagi dan Garuda yang berangkat malam hari dan tiba keesokan harinya dengan harga tiket mulai dari Rp 2 jutaan sekali jalan.

Meskipun tak ada lokasi wisata dan cuma dua hari di sana, tapi aku tetap terkesan dengan Timika.

Kelokan sungai di tengah hutan

Kamar hotel 350rb semalam

Wanita pembuat noken terkena malaria

Geliat pembangunan 

Bis anti peluru di parkiran Bandara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar