Sabtu, 03 November 2012

Pulau Mendanau Nan Memukau


Dermaga Tanjung Nyato, Selat Nasik
Sejak film Laskar Pelangi diputar pada tahun 2008 yang lalu, nama Belitung ikut terangkat ke permukaan sehingga banyak orang ingin mengunjungi pulau yang terkenal dengan pantai-pantainya yang cantik dihiasi batu-batu besar dan berpasir putih.

Alhamdulillah pada akhir Oktober 2012 selama 4 hari, saya berkesempatan mengunjungi pulau yang merupakan bagian dari Propinsi Bangka-Belitung untuk melakukan audit program pengiriman lima guru Dompet Dhuafa yang tersebar di empat pulau, yaitu : Belitung, Mendanau, Seliu dan Buku Limau.

Perjalanan saya di Selasa pagi 30 Oktober 2012 berjalan dengan lancar. Saya memang lebih suka mengambil penerbangan paling pagi karena kemungkinan delay kecil dan lalu lintas Jakarta masih lancar sehingga tidak dipusingkan dengan kemacetan. Pesawat berangkat jam 6 sesuai jadual dan mendarat di Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan sejam setelahnya. Dalam sehari ada 6 kali penerbangan dari Jakarta, sehingga kita bisa leluasa dalam memilih waktunya. 

Menjelang pendaratan saya melongok ke jendela. Bukan pemandangan cantik yang saya lihat, tapi lobang-lobang besar bekas tambang timah yang tak ditutup kembali sehingga terlihat seperti boncelan-boncelan wajah yang terkena penyakit cacar.

Tak lama menunggu di pintu kedatangan, Mbak Rini - guru Dompet Dhuafa yang bertugas di SD Muhammadiyah menjemput saya dengan motor sewaan seharga Rp 30.000 per 12 jam. Di Tanjung Pandan ini tidak ada angkutan umum, jadi saya harus menyewa kendaraan. Kalau sewa mobil, tarifnya sekitar Rp 500.000 per hari sudah termasuk sopir dan bensinnya. 

Setelah menyimpan tas di asrama sekolah, kami berdua langsung menuju ke lokasi program di Selat Nasik, Pulau Mendanau yang terletak di sebelah barat pulau Belitung. Pertama-kama kami harus menempuh jalan darat selama 45 menit. Perjalanannya terasa jauh buat saya karena jalanan di sini sangat mulus dan sepi sehingga berasa tak sampai-sampai jua. Meski begitu pemandangan pantai di kanan jalan yang indah menjadikan nya menjadi menyenangkan.

Akhirnya sampai juga kami di Dermaga Pegantongan untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu. Sayang sekali perahu baru saja berangkat sehingga kami harus menunggu perahu berikutnya. Setelah 15 belas menit menunggu, yang dinanti datang juga. Bergegas kami naik ke perahu berikut motor yang kami tumpangi. Tarif yang kami bayar semuanya Rp 45.000 sekali jalan. Motor dihitung seperti halnya penumpang.

Sengaja saya memilih keluar dari tempat duduk penumpang menuju ke atas untuk menikmati indahnya alam sekitar. Pagi itu laut terlihat sangat bening berwarna biru kehijauan, langitnya juga sangat cerah dan sang angin bertiup tak begitu kencang. Benar-benar sempurna, hingga perjalanan selama 40 menit  tak terasa dan kami sudah  sampai di Dermaga Tanjung Nyatoh, Selat Nasik. Turun dari perahu kami harus berhati-hati karena jalan penghubung ke darat sudah rusak dan tak ada pagar di kanan kirinya.

Rimbunnya hutan bakau, kicauan burung dan beningnya air laut menyambut kedatangan kami. Berbeda dengan Pulau Belitung, jalanan di sini masih belum bagus, jadi tak bisa memacu motor dengan kecepatan tinggi. Perlu waktu 20 menit lagi agar kami sampai di tujuan akhir, yaitu SDN 1 Selat Nasik yang terletak di perkampungan nelayan.

Meskipun rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, tapi sebenarnya mereka bukanlah termasuk orang tidak mampu. Penghasilan dari menangkap ikan termasuk besar, apalagi jika yang mereka tangkap adalah teripang yang terkenal mahal. Penduduknya heterogen dari berbagai suku. Selain penduduk asli, pendatang paling banyak berasal dari Bugis yang memang terkenal suka mengarungi samudera dan tersebar di mana-mana. Tadinya ada transmigran dari Jawa sebanyak 50 KK, tapi kabarnya hanya tinggal 5 KK karena air di sini termasuk sulit untuk pertanian. Tak heran saat makan siang saya ketemu tempe goreng. Lauk yang langka ditemui di pulau-pulau yang jauh dari kota.

Saya sarankan apabila mau kesini, datanglah di bulan Februari saat durian tengah berbuah. Ya, pulau ini adalah penghasil durian dimana saat panen harganya bisa hanya Rp 1.000 per biji. Meskipun ukurannya tidak besar, tapi katanya duriannya sangat manis dan wangi. Yah, saya akhirnya hanya bisa membayangkan saja tanpa bisa mencicipinya. Hehe..

Setelah semua pekerjaan selesai ditunaikan, sudah bertemu mbak Uthe – Guru DD yang ditugaskan dan bertemu Kepala Sekolah, buru-buru kami harus kembali menuju Dermaga agar bisa barengan dengan rombongan Inspektorat yang juga akan kembali ke Tanjung Pandan. Tapi sesampai di sana ternyata perahu sudah berangkat. Jadilah kami menyewa seharga Rp 150.000 karena hari sudah sore dan tak ada lagi perahu yang akan menyeberang.  

Bersama kami ikut juga Pak Yanto, guru SDN 1 Selat Nasik yang akan mengikuti pelatihan di kota. Ada peristiwa unik yang cukup menggelikan. Tiba-tiba pak Yanto sakit giginya kambuh saat di atas perahu. Meski sudah minum obat penghilang nyeri, ternyata belum bisa meredakan sakitnya. Akhirnya dia mengambil gelas dan langsung menciduk air laut. Saya kira untuk cuci tangan, ternyata dipakai untuk kumur-kumur. Iya juga ya, kalau di rumah kan kumurnya pakai air garam, di atas perahu ya cukup pakai air laut yang memang sudah asin. Praktis. Hahaha..

Di tengah perjalanan terlihat mendung cukup gelap. Ngeri juga takut kehujanan di tengah laut karena di seberang terlihat beberapa kali kilat membelah angkasa. Syukur Alhamdulillah kami selamat sampai dermaga.  Hujan baru turun dengan derasnya setelah kami menginjakkan kaki di daratan. Breeees...! dingiiiin...

Bandara Hanandjoeddin, Tanjung Pandan
Lubang menganga bekas tambang timah
Jalanan menuju Dermaga Pegantongan beraspal mulus dan sepi dengan bonus pemandangan pantai  yang cantik
Menikmati pemandangan
Hutan bakau nan hijau tempat para burung berkicau
Rumah Nelayan
Jalanan di pulau. Di hutan sepanjang jalan inilah pepohonan durian tumbuh dengan suburnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar