Rabu, 23 Mei 2012

Menyelami Kehidupan Muslim di Pedalaman NTT

Musholla di Kp Ali, Timor Tengah Selatan, NTT


Siang hari yang cerah di akhir bulan Mei 2012 saya dan tim film dokumenter “Datang Dari Hati” - sebuah program yang mengupas eksotisme alam Indonesia disertai potensi kearifan lokal yang Insya Allah akan tayang di tivi swasta Ramadhan nanti - berangkat menuju Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kota kecil Soe ini terletak di sebelah Timur Laut kota Kupang dan untuk menjangkaunya ditempuh dalam waktu 3 (tiga) jam.

Tujuan kami sebenarnya adalah Amanuban Timur, salah satu kecamatan di TTS untuk meliput dua dari tiga program pembangunan Musholla oleh Dompet Dhuafa. Hanya saja karena medan menuju lokasi yang cukup berat, maka kami putuskan untuk menginap semalam di Soe dan baru berangkat pagi-pagi pada keesokan harinya.

Setiba di Soe, kami langsung menuju ke penginapan murah meriah bertarif Rp 50.000 per orang, karena hotel yang lebih bagus saat itu full booked semua. Tak perlu heran, meskipun hanya kota kecil, tapi berhawa sangat sejuk seperti halnya Puncak atau Lembang di Bandung, sehingga banyak instansi baik Pemerintah maupun Swasta yang sering mengadakan pelatihan maupun rapat di sini.

Jam tujuh pagi keesokan harinya kami bertujuh memulai perjalanan dengan menyewa mobil double gardan yang walaupun sudah cukup tua umurnya tapi masih lincah jalannya. Maklum saja karena infrastruktur jalan yang akan kami lalui tak sepenuhnya mulus beraspal.

Kampung pertama yang kami tuju adalah Kampung Ali, Desa Mauleum, Kecamatan Amanuban Timur yang terletak di punggung Pegunungan Timor. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang sangat menawan hingga tak henti-hentinya kami berdecak kagum. Deretan pohon lontar dengan background langit biru, jurang dan ngarai di kiri kanan jalan serta udara yang sangat segar, sangat menyejukkan mata dan hati bagi yang memandangnya,sehingga tiga jam perjalanan tak terasa membosankan.

Kampung Ali merupakan desa yang terisolir karena tak ada angkutan umum yang melewati, bahkan kami harus menyeberang sungai karena jembatan penghubung di atasnya tidak ada. Setidaknya kami harus membuka tiga portal yang terbuat dari batang-batang kayu yang berfungsi sebagai pembatas daerah peternakan. Ternak disana dilepaskan begitu saja tanpa diikat maupun dikandangkan, sehingga tak heran jika di sepanjang perjalanan kami berjumpa dengan sapi, kambing maupun babi yang berjalan menyeberang jalan. Listrikpun belum masuk ke sana, kecuali beberapa rumah saja yang mendapatkan program listrik tenaga surya dengan membayar biaya pasang Rp 250.000 dan biaya bulanan Rp 35.000 yang hanya cukup untuk menyalakan lampu saja.

Untuk mendapatkan air bersih, mereka harus berjalan kaki mengambil di sungai yang ada di bawah kampung karena tak ada sumber air lain apalagi dari PAM/Pemerintah. Bagaimana dengan kebutuhan MCK? Mau tidak mau kita harus turun ke sungai ini jika ingin melepaskan hajat, terutama hajat besar karena untuk hajat kecil masih bisa dilakukan di bilik yang dibuat di dekat rumah utama. Ya, sebuah kakus sederhana karena hanya berupa tanah tanpa lobang yang ditutupi oleh bilik sehingga jika kita buang air kecil maka airnya akan langsung merembes ke tanah.

Sebagian besar warga bermatapencaharian sebagi petani jagung yang merupakan makanan pokok disamping bertanam ubi dan singkong. Jagung hasil panen akan disimpan di lumbung berupa rumah bulat yang terbuat dari pohon Tuino – semacam pohon palm. Batangnya akan dijadikan sebagai rangka, sedangkan daunnya digunakan sebagai atap yang menaunginya. Agar awet sampai setahun dan tidak dimakan ngengat, maka jagung ini diasapi secara terus menerus. Jika ingin makan nasi, maka mereka harus menjual sebagian hasil panen jagung untuk ditukarkan dengan beras di kota.

Tahun lalu daerah mengalami gagal panen, sehingga persediaan jagung di rumah bulat tidak mampu mencukupi kebutuhan hingga panen berikutnya tiba. Perlu diketahui musim hujan di NTT hanya terjadi sekitar empat bulan saja, selebihnya adalah musim panas yang kering. Akibatnya bencana kelaparan harus mereka alami. Dalam kondisi seperti itu hanya tanaman ubi, singkong, pepaya dan pisang saja yang menjadi andalannya.

Selain sebagai petani, ada juga beberapa warga yang menjadi buruh peternak sapi jantan milik orang-orang kota. Mereka akan memelihara sapi ini dan  mencarikan makanannya hingga tiga tahun, kemudian akan mendapatkan upah sebesar Rp 500.000. Nilai yang menurut saya sangat tidak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan. Tapi sepertinya mereka tidak punya pilihan lain sehingga harus menerima apa adanya.

Di tengah kehidupan yang serba terbatas ini, Alhamdulillah kehidupan antar beragama berjalan harmonis. Tak ada yang saling mengganggu, bahkan mereka saling bahu membahu jika ada perayaan maupun kesulitan di dalam kehidupan sehari-hari.

Saat kami memasuki kampung, kami melihat sudah banyak orang berkumpul di Musholla yang tanahnya merupakan hasil wakaf dari salah seorang warga dan terletak di dekat jurang yang menganga. Rupanya kedatangan kami telah ditunggu oleh mereka. 

Setelah bersalaman kami diajak untuk masuk ke Musholla untuk menjalani sebuah upacara penyambutan tamu yang bernama Netun. Kami diminta duduk di depan berhadapan dengan warga, kemudian tetua kampung akan memberikan kata sambutan dalam bahasa setempat yang kami sama sekali tidak tahu artinya. Jika anda pernah menonton film “God Must be Crazy”, seperti itulah bahasa yang mereka gunakan. Intinya tetua kampung mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran kami dan di amini oleh para warga lainnya. 

Di ujung upacara, kami dihadiahi kain tenun berbentuk syal yang dikalungkan di leher sebagai bentuk persaudaraan.

Tibalah saat pengambilan gambar dimulai. Kami meliput aktivitas anak-anak yang sedang belajar Iqro, menghafal ayat-ayat pendek maupun doa sehari-hari. Pengajian anak ini dalam seminggu dilakukan sebanyak tiga kali dan ada dua orang Ustadz yang mengajari mereka, satu diantaranya berasal dari luar kampung dimana untuk menuju ke Musholla ini harus berjalan kaki naik turun pegunungan sejauh tujuh kilometer. Tak terbayang betapa besar pengorbanan Ustadz ini, padahal mereka sama sekali tidak mendapatkan gaji. Meskipun demikian para Ustadz ini dengan ikhlas menjalankan tugasnya. 

Oh iya, para Ustadz yang “bertugas” di pedalaman ini sebagian besar adalah para santri lulusan Pondok Pesantren dari Jawa. Mereka menimba ilmu selama beberapa tahun dan setelah lulus akan kembali ke daerah asalnya.

Tertarik untuk ikut membuat mereka lebih berdaya? Pintu masih terbuka lebar bagi anda...

Belajar mengaji

Alam NTT yang keras. Gersang tapi tetap indah

Para manula 

Sesepuh Desa

Menyeberang sungai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar