Jalan di perkampungan |
Mungkin sebagian dari kita belum pernah mengenal bahkan mendengar nama
pulau kecil seluas 2,5 Ha yang merupakan pulau terluar di Sulawesi Selatan ini.
Meskipun masih merupakan bagian dari Kotamadya Makassar, tapi karena untuk
menuju kesana dibutuhkan waktu antara 2-3 jam perjalanan dengan perahu motor
serta tidak adanya sarana angkutan umum, menjadikan pulau ini terpencil dari
hiruk pikuk kehidupan manusia.
Awalnya tak ada fasilitas berarti di tempat yang hanya berpenduduk 13 KK
atau 43 jiwa ini selain jalan conblock yang
menghubungkan pantai dengan rumah warga, sehingga mereka harus menerima kondisi
apa adanya dengan segala keterbatasan. Puskesmas keliling hanya datang 3-4
bulan sekali sehingga praktis jika ada yang akan melahirkan harus bertolak ke kota. Paling tidak si ibu
hamil ini akan tinggal di kota minimal selama satu bulan di rumah saudaranya.
Begitu juga jika ada yang sakit, maka Puskesmas terdekat yang harus dituju ada
di Pulau Lumbu-Lumbu yang ditempuh selama satu jam berperahu.
Saat kami datang untuk shooting film dokumenter, pagi itu cuaca sedang tidak bersahabat karena sudah dua hari
angin bertiup kencang sehingga semua penduduk yang bermata pencaharian sebagai
nelayan tidak bisa melaut. Kami juga merasakan saat hampir sampai di pulau, ombak memang terlihat
tinggi sekitar 1-2 meteran. Di saat libur melaut, mereka pergunakan waktu
dengan bermain sepak bola bersama. Ada yang unik di sini, yaitu sebagian
warganya sekitar 20 persen bertubuh mini. Anak-anakpun juga mengalami kebotakan
dini sejak berumur lima tahunan. Entahlah apa yang menyebabkan hal ini bisa
terjadi.
Setahun yang lalu Dompet Dhuafa memberikan penghargaan sebagai “Kampung
Inspiratif” karena mereka mampu memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup secara
mandiri. Karena tak ada sekolah, seorang warga yang hanya lulusan Sekolah Dasar
akhirnya menjadi guru bagi anak-anak. Bagi mereka cukuplah asal bisa membaca
dan menulis saja meskipun sebenarnya ada keinginan untuk mempunyai ijazah
formal.
Ketika air bersih susah didapatkan, mereka menampung air hujan untuk
memasak. Jika telah tiba musim kemarau, mau tak mau harus membelinya dari
Makassar. Biasanya seminggu sekali mereka berbelanja dengan biaya perjalanan
sekitar Rp 100.000. Saat ingin buang air besar, maka lautlah yang menjadi
tujuannya.
Saat itu Dompet Dhuafa memberikan bantuan berupa jala untuk semua Kepala
Keluarga, sebuah perahu nelayan, membangunkan WC dan memberikan dua buah
penampungan air hujan. Alhamdulillah ternyata setelah itu menyusul ada beberapa
bantuan yang datang. Dua bulan yang lalu mereka menerima bantuan berupa solar
cell di tiap rumah yang cukup untuk menghidupkan dua lampu dari salah satu LSM.
Kampung yang dulunya hanya berpenerangan pelita, sekarang terlihat hidup dan
berwarna. Selain itu juga ada bantuan dua ratus terumbu karang dari Dinas
Kelautan yang bekerjasama dengan salah satu LSM yang berbeda. Warga berharap
jika terumbu karang telah tumbuh dan ikan-ikan hidup di dalamnya, maka
pariwisata bahari akan berkembang dan mereka akan ikut merasakan dampaknya.
Foto-foto lainnya
Foto-foto lainnya
Main bola di laut
|