Pagi di bulan Februari 2012 itu cuaca di Jember cukup cerah ditandai dengan
bersinarnya sang mentari tanpa terhalang awan. Kami bertiga yaitu saya, Pak
Shufyan Pimpinan Dompet Dhuafa (DD) Jatim serta Pak Didi mitra kerja kami
memulai perjalanan menuju Dusun Karang Harjo, Desa Curah Takir, Kec. Tempurejo,
Kab. Jember , lokasi salah satu program DD yang bertajuk “Air Untuk Kehidupan”.
Meskipun desa ini terletak jauh di luar kota, perjalanan
terasa tidak membosankan, apalagi bagi saya yang terbiasa dengan semrawutnya lalu lintas di ibukota Jakarta.
Sama sekali tidak kami temukan kemacetan disana. Ditambah bonus hijau, teduh
dan indahnya pemandangan ketika memasuki perkebunan karet yang diselingi dengan
pohon jati dan sengon laut milik PTP Nusantara XII (Persero) Glantangan, terasa menyejukkan mata sehingga cukup untuk
menebus rasa lelah atas perjalanan Surabaya – Jember dengan kereta pada malam
sebelumnya.
Setelah satu jam perjalanan melewati jalanan yang beraspal mulus, kecuali sedikit jalan tanah menjelang
jalanan akhir di perkebunan, sampailah kami di lokasi yang kami tuju. Sebuah
desa yang terisolir karena terletak di tengah-tengah perkebunan milik PTPN XII
yang hanya dibatasi sungai dan bersebelahan dengan perbukitan, sehingga
satu-satunya akses keluar masuk desa ini harus melewati perkebunan ini. Tak
heran jika sebagian besar warga bekerja sebagai buruh lepas penyadap karet
dengan penghasilan rata-rata sekitar Rp 1 jutaan per bulan.
Buruh penyadap karet siap bekerja |
Mobil tidak bisa masuk ke Desa karena jembatan yang ada
hanya cukup untuk kendaraan roda dua, sehingga kami parkir di area perkebunan
dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Dari kejauhan terdengar pengumuman dari
masjid agar warga berkumpul di Pos Yandu untuk menyambut kedatangan kami.
Jalan setapak untuk masuk ke kampung |
Untuk memasuki kampung, kami harus menuruni jalan yang di dasarnya
terdapat sungai kecil dan cerukan tanah
berisi mata air di dalamnya. Di tempat
inilah warga selama puluhan tahun melakukan aktivitas mandi, cuci dan buang
air. Sedangkan untuk keperluan memasak mereka harus mengambil air dari mata air
kecil di samping sungai, dimana mereka harus antri karena kecilnya debit air
yang dikeluarkan. Selanjutnya mereka pikul air ini dengan jirigen besar menuju
rumahnya yang terletak di atas.
Di sungai inilah dulu warga mengambil air untuk keperluan sehari-hari |
Setelah melihat-lihat sungai dan saluran pipa air, kami
langsung menuju ke Pos Yandu yang biasa dipergunakan sebagai tempat pertemuan.
Terlihat rumah disekitarnya masih banyak yang terbuat dari bilik, bukan tembok
permanen. Disana kami disambut oleh Pak Kampung – julukan bagi Kepala Dusun dan
beberapa warga untuk berbincang-bincang sejenak. Kami diperlihatkan desain
program air yang dibuat secara sederhana dengan ditulis tangan. “Ini sumber
airnya ada di atas di area perkebunan kira-kira 3 km dari desa ini yang
dialirkan melalui pipa-pipa. Agar pembagian air merata, dibuat satu bak induk yang kemudian di bagi-bagi
lagi menjadi 6 bak tandon yang ukurannya lebih kecil. Dari tandon inilah air
dialirkan ke rumah-rumah warga” jelas Pak Kampung yang benama asli Pak Hariyadi
ini.
Sekarang air yang melimpah tersedia di halaman rumah |
Menengok dapur warga |
Alhamdulillah warga
desa yang berjumlah 164 KK yang sebagian besar adalah keturunan Madura, sekarang
sudah bisa menikmati air langsung di rumahnya tanpa perlu lagi naik-turun untuk
mengambil air ke sungai. “Bahkan sekarang air berlimpah. Makanya kami juga
berkeinginan untuk memelihara ikan untuk memanfaatkan luberan air ini, tapi
kami tak cukup punya modal untuk membeli bibit ikannya. Sayang rasanya kalau
air ini terbuang percuma.” Demikian kata Pak Kampung menutup pembicaraan.
Menuju sumber air yang ada di tengah hutan |