Jumat, 25 Oktober 2013
Tidur
Seringkali saya heran ketika mendengar maupun membaca status di Facebook yang mengeluh pada susah tidur bahkan hingga menderita insomnia. Ya, karena Alhamdulillah saya hampir tidak pernah merasakan gangguan ini.
Saat masih SMA beberapa teman mengatakan sulit tidur karena sedang banyak masalah, entah karena beban pelajaran yang berat, kondisi ekonomi, putus cinta maupun lainnya.
Saat itu ketika menjelang tidur saya justru malah mikir, kenapa orang-orang itu pada sulit tidur, padahal kan tinggal berdoa dan kemudian memejamkan mata saja. Kalau ada masalah, ya hadapi dan coba cepat diselesaikan. Jika tak bisa segera beres, taruh dulu di lemari atau di bawah bantal. He he he..
Ada juga yang tidak nyenyak tidur kalau bukan di rumahnya sendiri, hingga akhirnya saat harus menginap di rumah atau tempat lain akan jadi siksaan tersendiri. Buat saya yang sering bepergian, ini nggak asyik banget. Bagi saya pergi dan menginap di tempat baru itu merupakan sensasi tersendiri. Resepnya cuma satu, nikmati saja semuanya. Simpel kan?
Bisa jadi saya bisa dengan mudah ngomong begini karena saya sejak kecil sudah terlatih tidur dimana saja. Ketika kecil saya sering diajak oleh Pak Wo (kakek) tidur di mobil. Wah keren banget jaman segitu apalagi tinggal di desa tapi bisa punya mobil.
Tunggu dulu.. Bapak saya adalah seorang sopir honorer di kantor PU sehingga kalau pulang malam, mobil jeep pegangannya suka dibawa ke rumah. Maklum saja di Jogja saat itu kendaraan umum sudah menghilang bersamaan dengan tenggelamnya sang surya di ufuk barat, sehingga atas seijin atasannya mobil bisa dibawa pulang. Karena khawatir dengan keamanannya, maka pak Wo sering mengajak saya tidur di dalamnya. Kursi belakang dilipat, gelar tikar, tidur deh.
Selain tidur di mobil, saya juga suka tidur di emperan rumah simbah. Kebiasaan di desa selain menaruh kursi di emperan, biasanya juga ada amben (ranjang dari bambu dengan alas tikar pandan/mendong). Nah, kami biasanya akan ramai-ramai bersama simbah dan anak cucunya akan tidur di amben itu ditemani oleh secercah cahaya pelita (ting), kilauan bintang dan bisikan bangun malam. Bagi yang penakut bisa jadi suasana ini akan terasa horor. Tapi tidak bagi kami.
Kala musim panen tiba, ini akan menjadi keasyikan bagi kami yang masih anak-anak, karena inilah saatnya tidur di gubuk di tengah sawah. Apa lagi jika pas panen palawija, maka selain tidur di alam terbuka, akan ada acara bakar jagung maupun ketela.
Bagaimana dengan berkemah? Wah, ini sih favorit saya. Meskipun tak suka dengan kegiatan pramuka, tapi ketika musim camping tiba, maka saya akan menyambutnya dengan suka cita.
Sejalan dengan aktivitas saya sebelumnya yang menuntut harus mempunyai mobilitas yang tinggi, Alhamdulillah menambah pengalaman saya untuk tidur di berbagai tempat dengan berbagai kondisi.
Nah, ini ada beberapa tips agar nyenyak tidur ala saya :
1. Jangan tidur larut malam. Biasanya kalau jam sudah menunjukan pukul 22.00 wib, otomatis alarm tubuh saya akan memberi tanda.
2. Hindari minum kopi menjelang tidur. Kalau sudah lewat jam 17.00 wib, saya sudah stop ngopi.
3. Tutup pintu, jendela dan hordeng serta matikan lampu. Cahaya lampu akan menyilaukan mata sehingga tidak nyaman di mata.
4. Matikan tv, radio dan sejenisnya. Suasana yang tenang akan lebih mempercepat tidur.
5. Jangan lupa berdoa sebelumnya
6. Jika semua sudah dilakukan tapi masih juga susah tidur? Biasanya saya sambil merem kemudian berzikir hingga akhirnya akan terlelap dengan sendirinya.
Jadi kenapa juga masih susah tidur?
Jumat, 23 Agustus 2013
Mau Liburan Murah ke Pulau? Ayo ke Untung Jawa...!
Lebaran kali ini saya dan keluarga tidak mudik ke Jogja. Selain males bermacet-macetan, akhir Juni kemarin kami sudah liburan ke sana dan sempat mampir ke Dieng.
Mengingat anak-anak paling suka berenang dan ingin suasana lain, tahu sendiri kan pantai di Ancol pasti padat kalau liburan seperti ini, mana airnyapun juga tak bersih. Setelah browsing cari referensi, akhirnya saya putuskan untuk liburan ke Pulau Untung Jawa yang berada di Kepulauan Seribu.
Pagi jam 07.30 kami start dari rumah di Depok. Rute yang diambil melalui tol dalam kota mengarah ke Bandara dan keluar di pintu tol Rawa Bokor. Tujuan kami adalah Dermaga Pantai Tanjung Pasir di Teluk Naga. Tak perlu khawatir tersesat karena di sepanjang jalan banyak petunjuk arahnya. Karena sebagian jalan ada perbaikan, total waktu yang ditempuh adalah selama 2,5 jam.
Sesampai di lapangan parkir yang cukup luas, sudah ada orang yang menawarkan perahu penyeberangan. Oh iya tarif masuk sekaligus parkir mobil di sini 24rb untuk 3 orang dewasa. Tak perlu khawatir meninggalkan kendaraan menginap, karena tempat ini dikelola secara resmi dan diberi tiket parkir sebagai tanda masuk. Jika ingin melepas dahaga, banyak terdapat pedagang es kelapa muda juga.
Dermaga Tanjung Pasir, Teluk Naga |
Di atas perahu, Rayhan tampat agak tegang. |
Ini dia perahunya |
Setelah perjalanan selama sekitar 30 menit, sampai juga kami di Pulau Untung Jawa dengan membayar 15rb per orang. Taraaa..! Dermaga telah tampak di depan mata. Ternyata di sekitarnya telah banyak pengunjung yang berenang di pantainya sehingga tampak ramai sekali. Untuk masuk ke pulau, tiap orang cukup membayar Rp 3.000 dan untuk anak-anak gratis.
Dermaga Pulau Untung Jawa |
Suasana di pantai dengan latar belakang Dermaga |
Jika ingin menginap, banyak homestay tersedia di sini dengan harga berkisar antara Rp 200-300 rb per kamarnya. Tapi makanan disini pilihannya terbatas. Meskipun di pulau, yang jual seafood hanya ada satu warung. Yang paling banyak adalah penjual gado-gado dan mie instant. Tapi di sini ada makanan khas yang sangat saya suka yaitu keripik sukun yang rasanya gurih dan renyah. Selain untuk cemilan selama bersantai, juga bisa dijadikan untuk oleh-oleh.
Salah satu home stay |
Sunset |
Menyongsong pagi
|
Saat berkeliling pulau, saya melihat bahwa potensi pariwisata disini telah dikelola dengan baik oleh warganya. Petunjuk jalan banyak dipasang diperempatan gang - karena jalannya memang cuma kecil tak bisa dilewati mobil, toko souvenir berupa kaos maupun cinderamata dari kerang, Puskesmasnya besar dan Masjidnya juga nyaman. Selain itu kebersihannya terjaga, penduduknya ramah dan keamanan juga cukup terjamin. Terbukti beberapa kali saya mendengar pengumuman telah ditemukannya tas atau dompet pengunjung dari pengeras suara. Motor warga juga diparkir begitu saja di luar rumah tanpa khawatir akan hilang. Ya iyalaah.. Kalau dicuri juga pasti ketahuan, kan keluarnya harus pakai perahu. Hehe..
Puskesmasnya cukup besar dan tampak modern
|
Sedikit tips, berangkatlah pagi-pagi karena perahu reguler adanya antara jam 8-10 pagi. Bawalah bekal makan siang sendiri dan lauk yang tahan lama dan snack jika berniat menginap. Pulangnya jangan terlalu sore karena bisa jadi ombak telah meninggi.
Sabtu, 15 Juni 2013
Natuna, Keindahannya Sudah Terlihat Sejak di Udara (1)
Natuna di balik jendela pesawat |
Mungkin selama ini kita hanya
mengenal Natuna sebagai salah satu penghasil minyak dan gas. Bahkan konon
kabarnya cadangan gas yang dimilikinya merupakan yang terbesar di dunia. Tapi
selain itu ternyata pulau ini juga memiliki keindahan alam yang luar biasa.
Jika kita lihat di peta, akan
tampak bahwa pulau yang merupakan salah satu batas paling utara Indonesia ini
dikelilingi oleh laut dalam sehingga secara geografis menjadikannya sebagai
pulau terpencil. Meskipun masih merupakan bagian dari Kepulauan Riau, tapi
cenderung lebih dekat dengan wilayah Malaysia yaitu Kuching. Tak heran jika
sebagian besar produk rumah tangga berasal dari Negara tetangga ini.
Untuk menuju Natuna bisa dilakukan melalui jalur laut maupun udara. Jika menggunakan pesawat, kita bisa memilih terbang dari Batam atau Pontianak. Rute Batam – Natuna akan dilayani oleh Wings Air yang terbang tiga kali seminggu, sedangkan Trigana Air melayani rute Pontianak – Natuna dua kali seminggu.
Cabin penumpang ATR 72-500 |
Waktu saya ke sana, saya memilih berangkat dari Batam dengan waktu tempuh selama 1 jam 25 menit. Awalnya agak khawatir juga mengingat pesawat yang digunakan adalah pesawat kecil jenis ATR 72-500 dengan kapasitas 70 penumpang. Mengingat sepanjang perjalanan tak tampak hanyalah lautan, maka saya memilih untuk tidur saja karena tak banyak yang bisa saya lihat.
Kombinasi birunya laut dan hijaunya pepohonan |
Komplek Masjid Agung |
Menjelang pendaratan |
Selasa, 21 Mei 2013
Blusukan Pulau Rote (3) : Hatiku Tertambat di Papela
Senja di Papela |
Papela adalah salah satu desa kecil yang terletak di sebelah tenggara Ba'a dengan waktu tempuh sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor. Jalanan menuju tempat ini sangat sepi dan beraspal mulus. Saking sepinya, jangan heran jika di sepanjang perjalanan hanya akan bertemu tak sampai 5 mobil.
Separuh perjalanan akan melewati pinggir pantai di selingi ladang berumput tempat penggembalaan sapi, kuda maupun kambing. Jadi perjalanan jauh ini sama sekali tak terasa melelahkan. Karena hewan ternak di sini dilepas begitu saja, maka bukan hal aneh jika di tengah jalan tiba-tiba ada kambing maupun babi yang menyeberang jalan.
Penduduk Papela mayoritas adalah muslim, terdiri dari penduduk asli maupun pendatang yang sebagian besar berasal dari Buton dan bermata pencaharian sebagai nelayan. Sedangkan penduduk asli ada menjadi petani maupun penyadap nira. Jika di daerah lain nira langsung diolah menjadi gula merah, di sini banyak yang dijual sebagai air gula seperti sirup.
Terletak di tepi pantai nan bersih dan berpasir putih dengan garis pantai yang melengkung, kita bisa melihat sunrise sekaligus sunset. Saat pagi hari, sunset bisa dinikmati di Pantai Tanjung maupun dari atas bukit. Ketika sore menjelang, dermaga merupakan tempat yang pas untuk menunggu sunset sembari memancing. Dermaga Papela biasanya digunakan untuk berlabuh saat Pelabuhan Ba'a tidak bisa dioperasikan karena gelombang tinggi di musim angin barat.
Bagi pecinta makanan laut, di sinilah surganya karena ikan-ikan segar yang baru ditangkap dengan mudah kita dapatkan dengan harga yang murah. Seekor ikan cakalang seberat sekitar 4 kg hanya dijual 30 ribu. Waoow..!
Selain panorama pantai, bagi yang menyukai tantangan bisa mengarungi lautan menuju Mulut Seribu. Di sana kita bisa menyusuri jalan laut si antara pulau-pulau yang berkelok-kelok laksana labirin. Makanya tempat ini dinamakan Mulut Seribu. Tak perlu khawatir akan tersesat karena nelayan setempat sudah hafal jalan keluar masuknya. Tapi kita hanya bisa menuju ke sini pada saat gelombang laut sedang tenang dan bersahabat.
Mengingat belum ada penginapan, disarankan untuk menginap saja di rumah warga. Mereka akan dengan senang hati menerima kehadiran kita. Tapi saya sarankan jangan datang di saat musim kemarau, karena air akan sulit didapat, kecuali jika anda ingin merasakan sensasi mandi dan buang air di sungai. Hehe.. Oh iya, listrik juga tidak tiap saat menyala. Dalam sehari pasti ada waktu-waktu jedanya. Jadi jika ingin gadget kita selalu siap sedia, rajin-rajinlah untuk mengisi baterainya
Ingin mencicipi makanan khas selain ikan laut? Ada cemilan yang bernama susu goreng, yaitu susu yang dipanaskan bersama air gula nira hingga menjadi karamel. Ada juga kacang sembunyi, hampir seperti enting-enting berbentuk gulungan yang biasa ada di Jawa, tapi ada kacang tanah di dalamnya.
Ah, Papela.. Engkau selalu membuatku untuk datang lagi kesana. Menikmati kehidupan sederhana apa adanya, merasakan kesegaran udara, merasakan semilir angin di tengah nyiur yang melambai, bermain air di lautmu yang jernih berwarna biru kehijauan, mencari kerang, melihat bintang laut, makan ikan laut yang segar, bermain dengan perahu nelayan, memancing, bercanda dengan anak-anak pantai.. Rasanya aku telah berada di salah satu surga dunia nan eksotis yang tak akan pernah terlupa.
Ikan Lamadang setinggi orang |
Pemandangan dari atas bukit |
Bersama penduduk lokal dengan topi khasnya |
Ibu-ibu menampung air dari bocoran pipa |
Pantai Tanjung |
Membantu suami mencari kayu bakar dan mengambil sadapan nira |
Nelayan membuat perahu dan dijual seharga Rp 60 juta |
Ladang penggembalaan |
Bertemu bintang laut |
Anak pantaipun pandai bergaya |
Kamis, 25 April 2013
Blusukan Pulau Rote (2) : Setiap Sudutnya Adalah Tempat Wisata
Mengunjungi pulau terluar Indonesia di bagian selatan ini ibarat kita berada di surga dunia. Dari sejak turun dari kapal cepat di Pelabuhan Ba’a, mata kita sudah dimanjakan dengan suasana yang menghipnotis. Lautnya yang berwarna biru kehijauan yang bening ditambah tiupan angin yang semilir membuat rasa lelah dan cemas akibat perjalanan laut selama 2 jam yang cukup mencekam karena goncangan kapal yang keras di Selat Pukuafu langsung hilang seketika. Perut yang mual, kepala yang sedikit pusing dan wajah yang lesu kini berganti menjadi merona memancarkan keceriaan. Ini bukan lebay loh, tapi fakta. :)
Begitu menapakkan kaki ke daratan, langsung kuhirup udara
dalam-dalam. Kapan lagi bisa menikmati kesegaran alami seperti ini? Di Jakarta
aku tak akan bisa menemuinya bahkan saat pagi buta sekalipun.
Biasanya traveller terutama wisatawan manca negara kalau ke
Rote akan mengunjungi Pantai Nembrala yang konon merupakan salah satu pantai favorit
di dunia untuk surfing karena ombaknya yang tinggi. Merupakan pantai di pesisir
barat Pulau Rote, Nembrala dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu jam dari
Pelabuhan Ba’a. Di sini telah banyak terdapat penginapan, tapi jangan kaget
karena sebagian besar dimiliki oleh orang asing.
Bagi anda yang muslim tak perlu khawatir dengan makanan, karena
di kota Ba’a banyak pendatang dari Jawa yang kemudian menetap dan sebagian
besar dari mereka bermata pencaharian sebagai pedagang makanan. Saat aku makan
gulai kepala ikan yang segar, ternyata yang punya warung adalah orang Jogja.
Udah jauh-jauh ke ujung selatan Indonesia, eh.. ketemu orang sekampung. Jadilah
kami ngobrol dengan bahasa Jawa. Hehehe..
Selain di Ba’a, ada satu lagi perkampungan muslim di Rote
Timur yang bernama Papela. Dari Pelabuhan Ba’a kita akan mengambil arah yang
berlawanan dari Pantai Nembrala. Jika ke Nembrala mengambil arah ke kanan, maka
untuk ke Papela harus mengambil arah ke kiri. Nanti akan aku ceritakan tersendiri
keindahan kampung kecil yang tak terlupakan ini dalam tulisan tersendiri.
Untuk menuju lokasi-lokasi tersebut, maka sepanjang
perjalanan kita akan disuguhi panorama ciptaan Illahi yang cantik dan indah
tiada terperi. Sebagian jalanan terletak di tepian pantai dimana semua pantai
di sepanjang pulau merupakan pantai berpasir putih bersih dan airnya sangat
jernih. Ya, karena ini adalah pulau terpencil yang penduduknya masih sedikit
sehingga nyaris tak ada polusi yang ditimbulkannya. Dan yang paling penting,
untuk menikmati itu semua tak perlu membayar tiket masuk. Semuanya gratis
sepuasnya..!
Ketika jalanan berada di tengah-tengah perkampungan maupun
hamparan lahan pertanian, pemandangannyapun tak kalah menyenangkan. Deretan
pohon lontar saat musim kemarau akan terlihat sangat eksotis karena warna hijau
daunnya akan terlihat kontras dengan tanah dan rerumputan kering di sekitarnya
yang berwarna coklat. Saat melewati sungai yang mengering dan hanya menyisakan
sedikit oase pun terlihat cantik sekaligus dramatis.
Saat melewati kawasan peternakan, maka akan terlihat
kambing, sapi dan kuda yang bergerombol meruput di padang nan luas. Pohon-pohon
jati yang meranggas tampak laksana membawa kita berada di suasana musim gugur.
Kali ya, karena aku juga belum pernah merasakannya. Hehehe.. Saking panas dan keringnya musim kemarau,
bahkan aku lihat hutan jati yang sampai terbakar bagian bawahnya.
Ada satu cerita yang sepertinya tak akan pernah terlupa dalam
ingatan. Saat berhenti di Pantai Baru, aku sangat terpesona dengan keindahan
yang ada di situ. Pantainya sangat sepi dengan pemandangan yang sangat menawan
hati sehingga aku benar-benar terlihat norak saat itu karena tak pernah kulihat
pemandangan sespektakuler ini sebelumnya. Tentu saja tak kulewatkan untuk
jeprat-jempret ambil gambar kesana-kemari untuk mendapatkan sudut-sudut
terbaik. Nah, di pinggir pantai terdapat pohon asam yang besar dan berbuah
lebat sehingga aku tertarik untuk berfoto juga di sini. Ku panjat sedikit ke
atas untuk mengambil pose terbaik. Selesai berfoto, saat mau turun tiba-tiba..
gubraak..! Aku jatuh terduduk dengan pergelangan kaki kiri menekuk sempurna.
Dan sakitnya, woooow, super sekaliiii.. Aku harus menerima kenyataan bahwa
kakiku terkilir dan harus dipapah saat berjalan. Inilah akibat nya, norak
membawa sengsara. Hehehe..
Ah, Pulau Rote. Kemanapun mata memandang, yang terlihat adalah
keindahan, kesejukan, kesegaran dan
ketenangan.
Jumat, 05 April 2013
Blusukan Pulau Rote (1) : Perjalanan Yang Penuh Tantangan
Siap menyeberang ke Pulau Rote dengan kapal cepat |
Disambut alat musik Sasando |
Menuju ke Rote perlu nyali yang cukup besar, apalagi jika sedang musim angin. Mengapa? Karena perjalanan udara maupun laut akan menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana tidak, dua kali aku kesana, saat akan mendarat di Bandara Eltari Kupang selalu terjadi turbulensi yang disebabkan oleh tiupan angin yang sangat kencang. Selama 15 menit pesawat terguncang cukup keras, rasanya seperti naik mobil di jalanan berbatu tapi ini terjadi di udara. Seru kan? Padahal di luar cuacanya sangat cerah lho. Bahkan yang kedua kalinya, saat mendarat roda pesawat tidak turun bersamaan tapi sebelah-sebelah sehingga pesawat sempat terasa oleng. Pokoknya harus banyak-banyak berdoa dan berdzikir untuk menenangkan hati.
Kupang saat musim kemarau |
Perjalanan udara saat itu dilayani oleh pesawat Lion, Sriwijaya dan Batavia dengan rute Jakarta-Kupang. Sayangnya Batavia satu-satunya maskapai yang menyediakan penerbangan langsung, saat ini sudah gulung tikar. Harga tiket pesawat Jakarta-Kupang pp berkisar di angka Rp 2 jutaan. Cabalah ke sini pada saat musim kemarau, maka kita akan lihat pemandangan yang eksotis dimana pemandangan di bawah akan terlihat berwarna coklat karena hampir semua pepohonan meranggas akibat kekurangan air.
Suasana di Pelabuhan Tenau |
Untuk menuju Rote, kita harus menyeberang laut. Jika ingin cepat, bisa naik kapal Bahari Express yang berangkat dari Pelabuhan Tenau tiap jam 08.30 WIB dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Tarifnya Rp 120rb untuk kelas ekonomi dan Rp 165rb untuk kelas VIP. Naik kapal Pelni juga bisa, tapi berangkatnya dari Pelabuhan Bolok dengan waktu tempuh sekitar 4 jam.
Suasana di dalam kapal Express Bahari kelas VIP |
Nah, jika sudah berada di tengah laut, kita akan menikmati sensasi berikutnya. Bersiaplah untuk menghadapi ganasnya ombak di Selat Pukuafu karena kita akan merasakan tamparan sang ombak di jendela kapal hingga membuat badan kapal seperti terombang-ambing. Suasana ini akan kita nikmati hingga 15 menit, sampai-sampai ada teman seperjalananku merasa mual, hampir muntah dan wajahnya terlihat pucat. Teman yang lain memilih minum obat sakit kepala agar bisa tertidur sehingga tidak ikut merasakan kejamnya guncangan. Akhirnya aku tahu mengapa Selat Pukuafu menjadi terasa menyeramkan. Tak lain karena di tempat inilah terjadi pertemuan arus dari Laut Timor, Laut Sawu dan Samudera Hindia. Hmmm... pantesan saja.
Di ruang nahkoda |
Pemandangan di luar kapal. Adem.. |
Saat sang ombak sudah kembali tenang, jangan lupa untuk menikmati indahnya pemandangan di luar. Kita akan disuguhi pemandangan laut yang bening berwarna biru kehijauan, langit yang juga biru berhiaskan awan putih yang cantik, dan tentu saja semilir angin yang menyejukkan. Kalau kita naik di kelas VIP, kita bisa masuk ke ruang kemudi untuk melihat apa saja yang ada di sana dan bagaimana nahkoda mengendalikan kapal. Asyik kan?
Sampai di Pelabuhan Ba'a |
Pelabuhan yang kita tuju di Rote adalah Pelabuhan Ba'a. Sebaiknya kita menyewa mobil atau angkot untuk menuju tempat tujuan, karena kota Ba'a ibukota Rote Ndao ini sangat sepi, tak ada banyak angkot yang bisa melayani ke berbagai tujuan. Sesaat kaki menapak di daratan, maka kita telah mulai disuguhi indahnya panorama salah satu batas negeri ini. Welcome to Rote Island..!
Angkot yang ku sewa, Ba'a - Papela Rp 300rb |
Rabu, 06 Maret 2013
Enam Hal Unik Yang Bisa Ditemukan di Merauke
Kota Merauke |
Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sepotong lagu wajib yang sering aku nyanyikan saat sekolah dulu, saat ini masih bisa kuhafal dengan lancar.
Merauke. Nama daerah yang populer ini yang tadinya cuma kukenal lewat lagu, peta dan berita, akhirnya aku datangi juga. Suatu daerah yang terasa asing yang merupakan salah satu batas negara di timur Indonesia karena berbatasan langsung dengan Papua Nugini ini ternyata mempunyai beberapa keunikan yang mungkin tidak kita termukan di daerah lain. Apa sajakah itu? Mari kita simak satu-persatu.
1. Rumah semut raksasa
Jika yang selama ini orang mengenal sarang semut yang berbentuk seperti umbi berlubang seperti labirin dan banyak dipergunakan sebagai obat herbal penyembuh berbagai macam penyakit, ternyata di Merauke ada juga rumah semut. Sebenarnya ini adalah rumah semut yang bentuknya seperti rumah rayap, hanya saja yang istimewa, rumahnya berukuran raksasa. Bagaimana tidak, ukurannya menjulang ada yang sampai 3 meter. Entah bagaimana caranya si makhluk kecil ini membangunnya. Rumah semut berukuran lebih kecil dapat kita temui di sepanjang jalan menuju Sota (perbatasan Papua Nugini). Sedangkan yang berukuran raksasa ada di Taman Sota, hanya saja sudah terlihat rusak. Jika ingin melihat yang masih alami, adanya di Distrik Salor, sekitar 2 jam perjalanan dari kota Merauke dengan sepeda motor. Tidak disarankan naik mobil karena jalannya rusak parah, kecuali mobil yang digunakan adalah double gardan. Itupun hanya bisa dilakukan setengah perjalanan saja karena ada sungai tanpa jembatan yang menghalangi sehingga di seberang sungai kita harus berganti kendaraan lain. Tulisan tentang rumah semut bisa juga ditemui disini.
2. Toko-toko punya jam istirahat
Jika pada umumnya toko buka non stop mulai pagi hingga sore/malam, maka di kota Merauke punya jam istirahat. Jam 14.00 hampir semua toko akan tutup dan baru buka kembali pada jam 17.00, dan akan tutup kembali pada jam 21.00. Mungkin pada jam-jam tersebut tak banyak pembeli yang datang, sehingga para pedagang memilih untuk tidak membuka tokonya.
Jika yang selama ini orang mengenal sarang semut yang berbentuk seperti umbi berlubang seperti labirin dan banyak dipergunakan sebagai obat herbal penyembuh berbagai macam penyakit, ternyata di Merauke ada juga rumah semut. Sebenarnya ini adalah rumah semut yang bentuknya seperti rumah rayap, hanya saja yang istimewa, rumahnya berukuran raksasa. Bagaimana tidak, ukurannya menjulang ada yang sampai 3 meter. Entah bagaimana caranya si makhluk kecil ini membangunnya. Rumah semut berukuran lebih kecil dapat kita temui di sepanjang jalan menuju Sota (perbatasan Papua Nugini). Sedangkan yang berukuran raksasa ada di Taman Sota, hanya saja sudah terlihat rusak. Jika ingin melihat yang masih alami, adanya di Distrik Salor, sekitar 2 jam perjalanan dari kota Merauke dengan sepeda motor. Tidak disarankan naik mobil karena jalannya rusak parah, kecuali mobil yang digunakan adalah double gardan. Itupun hanya bisa dilakukan setengah perjalanan saja karena ada sungai tanpa jembatan yang menghalangi sehingga di seberang sungai kita harus berganti kendaraan lain. Tulisan tentang rumah semut bisa juga ditemui disini.
Rumah Semut raksasa di Distrik Salor |
2. Toko-toko punya jam istirahat
Jika pada umumnya toko buka non stop mulai pagi hingga sore/malam, maka di kota Merauke punya jam istirahat. Jam 14.00 hampir semua toko akan tutup dan baru buka kembali pada jam 17.00, dan akan tutup kembali pada jam 21.00. Mungkin pada jam-jam tersebut tak banyak pembeli yang datang, sehingga para pedagang memilih untuk tidak membuka tokonya.
3. Rusa berkeliaran di jalanan
Populasi rusa di Merauke sangat banyak. Meskipun Papua diselimuti hutan hujan tropis yang lebat, tapi di sana tak ada harimau maupun singa. Binatang penghuni hutan hanyalah sebangsa burung, rusa dan ular. Jadi predator rusa nyaris cuma sedikit, paling hanya buaya dan ular sehingga rusa dapat berkembang biak dengan cepat. Tak heran jika harga daging rusa di sana lebih murah dibandingkan dengan daging sapi. Sekilo daging rusa hanya Rp 30.000, sedangkan daging sapi bisa mencapai Rp 60.000 (saat itu, tahun 2011). Jadi tak heran jika rusa-rusa ini banyak berkeliaran di jalanan untuk merumput. Kalau kita mau makan bakso dan sate, maka sebagian besar dagingnya pasti daging rusa. Rasanya? Hmmm, empuk, gurih dan tentu saja lezat. Hanya saja bau amisnya lebih terasa dibandingkan daging sapi.
4. Warung didesain seperti loket
Rusa merumput di jalanan |
4. Warung didesain seperti loket
Peredaran minuman keras bisa dikatakan sangat bebas, maka tak heran jika tingkat kriminalitasnya cukup tinggi. Untuk menghindari pencurian, akhirnya warung-warung kecil rumahan dibuat seperti loket penjual karcis. Pintunya selalu terkunci rapat, jendelanya dilapisi teralis kawat dan untuk transaksi jual beli dibuatkan lobang kecil untuk menyerahkan barang/uang.
5. Mencari ikan di halaman rumah
Tadinya aku mengira bahwa Merauke itu dikelilingi oleh hutan yang lebat, eh ternyata adanya di tepi pantai dan kondisi alamnya berawa-rawa. Meskipun demikian, kekayaan alam di sekitarnya tetaplah berlimpah. Di rawa-rawa itu banyak terdapat ikan air tawar seperti Mujair. Jadi anak-anak kecil disana kalau mau makan tinggal turun ke halaman rumah dan menangkap ikan-ikan itu untuk dijadikan lauk. Asyik ya..
6. Bahasa Jawa masih menjadi bahasa ibu
Merauke merupakan salah satu tujuan transmigran pada tahun 1970-an. Saat aku berkunjung ke salah satu daerah penerima program beasiswa Dompet Dhuafa di Distrik Kurik, penggunaan bahasa Jawa masih mendarah daging digunakan sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi. Bahkan pembicaraan antara nenek dan cucu, masih memakai bahasa Jawa halus. Wooow..! Meskipun sudah berada di Papua, serasa berada di kampung halaman di Bantul. hehehe..
Ah, jadi pingin ke Merauke lagi jadinya..
Bertransaksi di warung |
5. Mencari ikan di halaman rumah
Tadinya aku mengira bahwa Merauke itu dikelilingi oleh hutan yang lebat, eh ternyata adanya di tepi pantai dan kondisi alamnya berawa-rawa. Meskipun demikian, kekayaan alam di sekitarnya tetaplah berlimpah. Di rawa-rawa itu banyak terdapat ikan air tawar seperti Mujair. Jadi anak-anak kecil disana kalau mau makan tinggal turun ke halaman rumah dan menangkap ikan-ikan itu untuk dijadikan lauk. Asyik ya..
Anak Papua mencari ikan di halaman |
6. Bahasa Jawa masih menjadi bahasa ibu
Merauke merupakan salah satu tujuan transmigran pada tahun 1970-an. Saat aku berkunjung ke salah satu daerah penerima program beasiswa Dompet Dhuafa di Distrik Kurik, penggunaan bahasa Jawa masih mendarah daging digunakan sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi. Bahkan pembicaraan antara nenek dan cucu, masih memakai bahasa Jawa halus. Wooow..! Meskipun sudah berada di Papua, serasa berada di kampung halaman di Bantul. hehehe..
Ah, jadi pingin ke Merauke lagi jadinya..
Keluarga transmigran dari Jawa |
Sabtu, 09 Februari 2013
Sepotong Surga di Pulau Memperak Belitung
Pantai cantik berpasir putih berhias kerang |
Pulau Belitung
kini mulai populer sebagai salah satu tujuan wisata di tanah air.
Pantai-pantainya yang berpasir putih, berair jernih dan dihiasi batu-batu
granit raksasa menjadi daya tarik tersendiri yang tidak bisa ditemui di tempat
lain.
Jika selama ini
wisatawan biasanya hanya mengenal Pantai Tanjung Tinggi, Pantai Burung Mandi, Pulau
Lengkuas dan Pulau Babi, ternyata ada keindahan tersembunyi yang bisa kita
temukan di Pulau Memperak. Beruntung aku bisa mengunjunginya saat ada tugas kantor di Pulau Buku Limau. Di pulau terpencil itu Dompet Dhuafa tempatku berkarya, mengirimkan seorang Guru Model untuk mengabdi di satu-satunya SD yang ada di sana. Cerita tentang Pulau Buku Limau nanti akan aku ceritakan tersendiri saja. Tak kalah serunya.. :)
Terletak di Kabupaten Belitung Timur, Pulau Memperak bisa kita jangkau dari Ibukota Manggar dengan menyewa perahu motor selama sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan ditanggung kita tak akan pernah merasa bosan. Bagaimana tidak, air laut yang berwarna biru kehijauan serta perbukitan kecil yang terlihat di kejauhan sangat memanjakan mata yang memandangnya. Ditambah semilir angin yang bertiup serta terpaan sinar matahari yang hangat, akan menjadikan semuanya makin sempurna.
Menjelang merapat
ke Pulau Memperak, mintalah agar mesin perahu dimatikan, dan bersiaplah untuk
menikmati kejutan berupa hamparan terumbu karang di dasar pantai yang sangat
menakjubkan. Gugusan terumbu karang yang laksana taman bunga itu dikelilingi
oleh ikan-ikan kecil yang berenang kesana-kemari. Indah sekali. Tapi jika ingin
menceburkan diri, jangan lupa memakai alas kaki karena bulu babi yang tajam
bagai duri tampak berserakan di sana-sini.
Untuk sampai ke daratan, kita harus turun ke air menjelang pantai karena dermaga yang ada sudah rusak tidak bisa dipakai untuk merapat. Tapi tak apa, anggap saja sekalian kita bermain-main air laut. Toh ombaknya juga kecil sehingga kita tidak perlu khawatir akan basah kuyup. Tapi ketika air laut sedang surut, perahu hanya bisa parkir agak di tengah. Jadi kita akan mencapainya dengan perahu kecil semacam sampan yang biasanya sudah disiapkan dalam perahu motor.
Bersampan ria, jangan gerak-gerak kalau tak ingin terbalik |
Saat menapakkan kaki di pantainya, kita serasa berada di pulau pribadi. Ya, karena pulau ini memang sangat sepi karena hanya dihuni oleh seorang penjaga yang tinggal di salah satu bangunan yang terletak di bagian tengah. Jadi pastikan kita membawa perbekalan makanan dan minuman sendiri jika tidak ingin kehausan dan kelaparan.
Seperti halnya pantai di Belitung lainnya kita bisa menikmati indahnya pasir putih yang berhias kerang-kerang yang cantik. Jangan lupa kerang-kerang ini bisa kita bawa sebagai oleh-oleh. Apabila mau, kita bisa menjadikannya sebagai souvenir untuk dibuat menjadi hiasan pigura maupun hiasan dinding. Bagi yang suka berenang dan bermain air, pasti akan enggan untuk menepi. Bagaimana tidak, kapan lagi bisa menemui suasana pantai seperti ini? Setelah puas berenang, kita bisa menemui penjaga pulau untuk minta dipetikkan kelapa muda yang pasti akan terasa segar di tenggorokan.
Sisi Pantai yang lain |
Jika beruntung, kita bisa menemukan penyu-penyu yang naik ke daratan untuk bertelur yang biasanya terjadi saat musim kemarau. Jadi tunggu apa lagi? Mampirlah ke Pulau Memperak saat berkunjung ke Belitung dan nikmatilah sepotong surga dunia yang pasti tak akan terlupa selamanya.
Sesi pemotretan bersama warga Pulau Buku Limau |