Bandara Mozes Kilangin |
Siang hari yang cerah, menjelang
pesawat mendarat, ku tengok keluar jendela pesawat. Tampak terhampar hutan
hijau nan lebat di bawah sana laksana karpet raksasa. Apalagi saat terlihat
sungai yang berkelok-kelok seperti ular yang melata di rerumputan, saya berasa
tengah melihat sungai Amazon. Ya, aku telah sampai ke Papua yang sebenarnya.
Tidak seperti waktu ke Merauke, menjelang pendaratan ternyata yag terlihat
adalah pantai dan rawa-rawa.
Setelah melalui perjalanan selama
6,5 jam dari Jakarta, tepat jam 13.30 WIT pesawat mendarat dengan mulus di
Bandara Mozes Kilangin sesuai rencana. Nama Bandara ini diambilkan dari nama
seorang tokoh yang disegani yang berasal dari Suku Amungme. Patung tokoh ini
diabadikan juga di gerbang masuk Bandara.
Suasana Bandara sangat kental
dengan nuansa pertambangan. Maklum saja, disinilah PT. Freeport melakukan
eksplorasi tembaga dan emas, yang konon kabarnya emas di sini mempunyai kualitas
nomer satu di dunia.
Keluar dari Bandara kita disambut
papan nama yang terbuat dari ban dump truck yang sangat besar, hingga terbayang
betapa besar truck nya. Terlihat ada 22 bendera berbagai negara yang ikut
membangun Bandara ini. Di area parkir terdapat bis karyawan Freeport berwarna
oranye untuk menuju lokasi tambang yang sudah dilindungi plat baja anti peluru.
Sepertinya ini adalah satu-satunya bis anti peluru di Indonesia.
Meskipun dikelilingi oleh hutan
belantara, pegunungan dan tak jauh dari pantai, Timika bukanlah tempat wisata. Belum
ada investor yang menggarap kawasan hutan dan pegunungan ini untuk dijadikan
kawasan wisata yang mempesona. Pantainya juga berawa-rawa sehingga kurang
menarik untuk dikunjungi sebagai sarana pencuci mata.
Tapi makanan lautnya yang nikmat,
bisa menjadi alternatif wisata kuliner. Sepertinya halnya di Jawa, warung tenda
sea food banyak bertebaran di sepanjang jalan. Sebenarnya ke Timika belum lengkap rasanya kalau belum
menikmati karaka atau kepiting yang besar dan tentu enak rasanya. Sayangnya aku
tak sempat menikmatinya karena saat itu kepiting sedang tidak musimnya. Hiks..
Tak apalah, toh cumi, kepala kakap dan udang bisa menjadi penggantinya. Rasanya
gurih, manis, walaupun tanpa bumbu yang mlekoh. Siapkan uang lebih ya, karena
harga makanan di sini cukup mahal, kira-kira dua kali lipat harga di Jakarta.
Udara di ibukota Kabupaten Mimika
ini sangatlah segar dan bebas polusi. Dan anehnya di sini tak ada musim. Hujan
bisa turun kapan saja sepanjang tahun dan cuaca bisa berubah dengan sangat
cepat. Setelah panas terik yang menyengat kulit, bisa saja tiba-tiba langsung
turun hujan dengan lebatnya. Tak heran nyamuk malaria menjadi momok tersendiri
bagi sebagian orang yang mau datang ke Papua.
Di pasar aku bertemu dengan seorang
wanita yang duduk lesehan berpanas-panasan sambil membuat noken, tas khas Papua
yang cara memakainya talinya diletakkan di atas kepala. Di keningnya terikat
dedaunan yang ternyata setelah aku tanya itu adalah obat demam karena dia
terkena malaria. Belakangan aku baru tahu dedaunan itu bernama ‘daun gatal’.
Konon katanya bisa menyembuhkan penyakit apa saja, asal tahan saja sama rasa gatal
yang ditimbulkannya.
Secara umum kota Timika yang bisa
dijangkau dalam waktu 15 menit dari Bandara ini aman, tidak seperti yang
diberitakan di media massa yang isinya penuh horor yang mencekam sehingga orang
jadi takut dibuatnya. Jalanannya lebar dan mulus, di kanan kiri jalan banyak
pedagang kaki lima yang jual gorengan, buah-buahan, martabak, warung tenda,
dll. Tak beda seperti di Jawa saja rasanya.
Penduduk asli dan pendatang dari
seluruh Indonesia berbaur dengan sewajarnya. Tak ada rasa benci dan bermusuhan.
Kalaupun ada kerusuhan ya itu wajar saja. Bukankah di semua tempat juga begitu?
Di Jakarta saja banyak penjahat yang membunuh korbannya, demikian juga di
tempat lain ada juga polisi yang meninggal karena ditembak oleh perusuh. Kalaupun
ada keributan, biasanya itu adalah konflik internal antar suku dan malah ada
aturannya.
Ada satu wilayah khusus bernama
Kuala Kencana. Ini adalah kota eksklusif milih PT. Freeport Indonesia. Mungkin
kalau di Jakarta namanya kota mandiri seperti halnya BSD. Semua fasilitas
lengkap tersedia mulai dari sekolah, Rumah Sakit, tempat belanja dan sarana
hiburan ada di sini. Kawasan industri dan perkantoran yang terkait dengan
pertambangan juga berada di sini. Dari kota Timika, tempat ini dapat ditempuh
dalam waktu 45 menit.
Untuk transportasi lokal, meskipun
ada angkot yang berwarna kuning, tapi trayeknya tidak jelas, tergantung pada
jumlah penumpang terbanyak saja. Jadi kalau ke sini lebih baik sewa kendaraan
atau naik ojeg yang banyak mangkal. Tarif dekat hanya Rp 5 ribu. Penginapan
yang layak bervariasi antara 350 hingga700 rb. Aku dapat di Hotel Intsia di
depan Pengadilan Negeri yang kamarnya bersih dan cukup luas dengan rate Rp 350
ribu saja dan sudah dapat sarapan pagi dan snack sore.
Penerbangan komersial dari Jakarta
dilayani oleh Merpati yang berangkat jam 5 pagi dan Garuda yang berangkat malam
hari dan tiba keesokan harinya dengan harga tiket mulai dari Rp 2 jutaan sekali
jalan.
Meskipun tak ada lokasi wisata dan
cuma dua hari di sana, tapi aku tetap terkesan dengan Timika.
Kelokan sungai di tengah hutan |
Kamar hotel 350rb semalam |
Wanita pembuat noken terkena malaria |
Geliat pembangunan |
Bis anti peluru di parkiran Bandara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar