Musholla di Kp Ali, Timor Tengah Selatan, NTT |
Tujuan kami sebenarnya adalah Amanuban Timur, salah satu
kecamatan di TTS untuk meliput dua dari tiga program pembangunan Musholla oleh
Dompet Dhuafa. Hanya saja karena medan menuju lokasi yang cukup berat, maka
kami putuskan untuk menginap semalam di Soe dan baru berangkat pagi-pagi pada
keesokan harinya.
Setiba di Soe, kami langsung menuju ke penginapan murah
meriah bertarif Rp 50.000 per orang, karena hotel yang lebih bagus saat itu
full booked semua. Tak perlu heran, meskipun hanya kota kecil, tapi berhawa
sangat sejuk seperti halnya Puncak atau Lembang di Bandung, sehingga banyak
instansi baik Pemerintah maupun Swasta yang sering mengadakan pelatihan maupun
rapat di sini.
Jam tujuh pagi keesokan harinya kami bertujuh memulai
perjalanan dengan menyewa mobil double gardan yang walaupun sudah cukup tua
umurnya tapi masih lincah jalannya. Maklum saja karena infrastruktur jalan yang
akan kami lalui tak sepenuhnya mulus beraspal.
Kampung pertama yang kami tuju adalah Kampung Ali, Desa
Mauleum, Kecamatan Amanuban Timur yang terletak di punggung Pegunungan Timor.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang sangat menawan hingga tak
henti-hentinya kami berdecak kagum. Deretan pohon lontar dengan background
langit biru, jurang dan ngarai di kiri kanan jalan serta udara yang sangat
segar, sangat menyejukkan mata dan hati bagi yang memandangnya,sehingga tiga
jam perjalanan tak terasa membosankan.
Kampung Ali merupakan desa yang terisolir karena tak ada
angkutan umum yang melewati, bahkan kami harus menyeberang sungai karena
jembatan penghubung di atasnya tidak ada. Setidaknya kami harus membuka tiga
portal yang terbuat dari batang-batang kayu yang berfungsi sebagai pembatas
daerah peternakan. Ternak disana dilepaskan begitu saja tanpa diikat maupun
dikandangkan, sehingga tak heran jika di sepanjang perjalanan kami berjumpa
dengan sapi, kambing maupun babi yang berjalan menyeberang jalan. Listrikpun
belum masuk ke sana, kecuali beberapa rumah saja yang mendapatkan program listrik
tenaga surya dengan membayar biaya pasang Rp 250.000 dan biaya bulanan Rp
35.000 yang hanya cukup untuk menyalakan lampu saja.
Untuk mendapatkan air bersih, mereka harus berjalan kaki
mengambil di sungai yang ada di bawah kampung karena tak ada sumber air lain
apalagi dari PAM/Pemerintah. Bagaimana dengan kebutuhan MCK? Mau tidak mau kita
harus turun ke sungai ini jika ingin melepaskan hajat, terutama hajat besar
karena untuk hajat kecil masih bisa dilakukan di bilik yang dibuat di dekat
rumah utama. Ya, sebuah kakus sederhana karena hanya berupa tanah tanpa lobang
yang ditutupi oleh bilik sehingga jika kita buang air kecil maka airnya akan
langsung merembes ke tanah.
Sebagian besar warga bermatapencaharian sebagi petani jagung
yang merupakan makanan pokok disamping bertanam ubi dan singkong. Jagung hasil
panen akan disimpan di lumbung berupa rumah bulat yang terbuat dari pohon Tuino
– semacam pohon palm. Batangnya akan dijadikan sebagai rangka, sedangkan
daunnya digunakan sebagai atap yang menaunginya. Agar awet sampai setahun dan
tidak dimakan ngengat, maka jagung ini diasapi secara terus menerus. Jika ingin
makan nasi, maka mereka harus menjual sebagian hasil panen jagung untuk
ditukarkan dengan beras di kota.
Tahun lalu daerah mengalami gagal panen, sehingga persediaan
jagung di rumah bulat tidak mampu mencukupi kebutuhan hingga panen berikutnya
tiba. Perlu diketahui musim hujan di NTT hanya terjadi sekitar empat bulan
saja, selebihnya adalah musim panas yang kering. Akibatnya bencana kelaparan
harus mereka alami. Dalam kondisi seperti itu hanya tanaman ubi, singkong,
pepaya dan pisang saja yang menjadi andalannya.
Selain sebagai petani, ada juga beberapa warga yang menjadi
buruh peternak sapi jantan milik orang-orang kota. Mereka akan memelihara sapi
ini dan mencarikan makanannya hingga
tiga tahun, kemudian akan mendapatkan upah sebesar Rp 500.000. Nilai yang
menurut saya sangat tidak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan. Tapi
sepertinya mereka tidak punya pilihan lain sehingga harus menerima apa adanya.
Di tengah kehidupan yang serba terbatas ini, Alhamdulillah
kehidupan antar beragama berjalan harmonis. Tak ada yang saling mengganggu,
bahkan mereka saling bahu membahu jika ada perayaan maupun kesulitan di dalam
kehidupan sehari-hari.
Saat kami memasuki kampung, kami melihat sudah banyak orang
berkumpul di Musholla yang tanahnya merupakan hasil wakaf dari salah seorang
warga dan terletak di dekat jurang yang menganga. Rupanya kedatangan kami telah
ditunggu oleh mereka.
Setelah bersalaman kami diajak untuk masuk ke Musholla
untuk menjalani sebuah upacara penyambutan tamu yang bernama Netun. Kami
diminta duduk di depan berhadapan dengan warga, kemudian tetua kampung akan
memberikan kata sambutan dalam bahasa setempat yang kami sama sekali tidak tahu
artinya. Jika anda pernah menonton film “God Must be Crazy”, seperti itulah
bahasa yang mereka gunakan. Intinya tetua kampung mengucapkan selamat datang
dan terima kasih atas kehadiran kami dan di amini oleh para warga lainnya.
Di
ujung upacara, kami dihadiahi kain tenun berbentuk syal yang dikalungkan di
leher sebagai bentuk persaudaraan.
Tibalah saat pengambilan gambar dimulai. Kami meliput
aktivitas anak-anak yang sedang belajar Iqro, menghafal ayat-ayat pendek maupun
doa sehari-hari. Pengajian anak ini dalam seminggu dilakukan sebanyak tiga kali
dan ada dua orang Ustadz yang mengajari mereka, satu diantaranya berasal dari
luar kampung dimana untuk menuju ke Musholla ini harus berjalan kaki naik turun
pegunungan sejauh tujuh kilometer. Tak terbayang betapa besar pengorbanan
Ustadz ini, padahal mereka sama sekali tidak mendapatkan gaji. Meskipun
demikian para Ustadz ini dengan ikhlas menjalankan tugasnya.
Oh iya, para
Ustadz yang “bertugas” di pedalaman ini sebagian besar adalah para santri
lulusan Pondok Pesantren dari Jawa. Mereka menimba ilmu selama beberapa tahun
dan setelah lulus akan kembali ke daerah asalnya.
Tertarik untuk ikut membuat mereka lebih berdaya? Pintu masih terbuka lebar bagi anda...
Belajar mengaji |
Alam NTT yang keras. Gersang tapi tetap indah |
Para manula |
Sesepuh Desa |
Menyeberang sungai |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar