Mengajar membaca langsung di Perpustakaan |
Sepanjang perjalanan yang terlihat adalah birunya laut, kemilaunya pasirnya yang putih dan deburan ombak yang bergemuruh memecah karang. Sangat eksotis dan kontras dengan pemandangan di sekitarnya di mana pohon dan tanahnya tampak kecoklatan karena tak mampu menahan terik dan keringnya puncak musim kemarau di bulan September ini.
Tujuan saya kali ini adalah bersilaturahim dengan Guru Dompet Dhuafa (DD) yang ditugaskan di daerah terpencil ujung selatan Kabupaten Dompu yang terletak di Pulau Sumbawa, tepatnya di SDN 09 Nangadoro, Kecamatan Hu’u.
Jam 8 pagi saya sampai di sekolah yang terletak persis di tepi pantai. Dua orang guru menyambut kedatangan kami, salah satunya adalah Munawir, peserta Sekolah Guru Ekselensia Dompet Dhuafa yang tengah menjalani masa tugas. Ia telah lima bulan mengajar di sini. “Maaf Bu, baru ada dua guru yang datang. Beginilah kondisinya sehari-hari, para guru sulit diharapkan kehadirannya mengingat lokasinya yang terpencil jauh dari kota,” katanya dengan senyum mengembang.
Saya lihat sebagian siswa masih bermain-main di lapangan, sementara sebagian lainnya sudah ada di ruang kelas siap untuk belajar. “Jumlah siswa di sini hanya 70 anak, dan karena minimnya guru maka kelasnya digabung. Kelas 1 dan 2 jadi satu kelas, begitu juga kelas lainnya. Padahal sebenarnya jumlah guru sudah cukup, semuanya ada 12 guru,” tambah pemuda asal Sulawesi Selatan ini.
Tak heran jika tingkat kehadiran siswa juga rendah. “Sering kali kami harus menjemput anak-anak ke rumahnya agar mereka mau datang ke sekolah. Maklum kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak juga belum bisa diharapkan. Di saat istirahat, siswa banyak yang pulang dan tidak kembali lagi,” ceritanya.
Saat saya masuk ke kelas 6, siswa tengah belajar membaca. Ya, ternyata hingga menjelang lulus, mereka masih banyak yang belum bisa membaca dengan lancar. Miris sekali saya melihatnya. Saya bandingkan kondisinya dengan sekolah anak saya yang sangat jauh berbeda. Di sekolah ini masih banyak yang ke sekolah memakai sendal jepit dan tanpa memakai seragam.
Tinggal di daerah terpencil yang tidak ada sarana air bersih, sinyal telepon terbatas, dan sulit mendapatkan bahan makanan, tak menyurutkan niat alumni Universitas Negeri Makassar ini untuk mengabdi menebarkan “virus” sebagai guru model. Pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan dia coba terapkan agar kualitas pendidikan bisa meningkat.
“Meskipun di sini serba sulit, saya siap kalau misalnya masa tugas saya diperpanjang. Saya ingin mendampingi anak-anak hingga mereka bisa mengejar ketertinggalannya,” tukas Munawir dengan mantap.
Saya sangat salut dan merasa harus belajar dari tekad Munawir yang memiliki tekad kuat untuk memajukan pendidikan anak-anak kita di pedalaman Dompu, Nusa Tenggara Barat. Meski hidup dalam keterbatasan, ia tetap bertahan demi majunya calon tunas bangsa.
Bersendal jepit ke sekolah sudah biasa |
Siswa bermain di lapangan
|